"Sebentar saja," ucapmu mengakhiri percakapan. Lagi-lagi, kamu beranjak pergi untuk melihat pemandangan yang bukan aku. Punggungmu terus menjauh, tanpa lambaian tangan, tanpa menoleh sedikit pun. Kapan kiranya kamu akan pulang? Benarkah hanya sebentar?
Biasanya, kita menghabiskan waktu dengan bercerita, berbagi ideologi, atau membahas buku yang semalam baru selesai kita baca. Tentang film yang kita sukai sesekali, atau tentang yang akan kita lakukan setelah hari ini. Lalu kita lelah dan tertidur dalam dekapan masing-masing. Sesederhana itu bahagia yang kita rawat selama ini.
Sembari terus menantimu, aku berdoa agar kamu tak tersesat, agar tak lupa jalan pulang. Ah, tapi ini sudah lewat dari 24 jam. Biasanya, setelah 1 jam kamu kembali, memelukku, menyeka airmataku, menuntaskan rindu.
Satu jam berikutnya, kucoba mengulang sendiri apa-apa yang kerap kita lakukan bersama. Aku melihat album keseharian kita; saat di halaman rumah, saat membersihkan ruang tamu, saat memasak di dapur, saat merapikan perpustakaan kecil kita. Kemudian aku membaca buku yang belum lama ini kita bahas. Namun, semuanya masih saja melambat. Kamu belum juga kembali. Aku terlelap seorang diri.
Esok harinya, sudah 48 jam. Tak ada tanda-tanda kamu pulang. Ini baru dua hari, tapi aku merasa telah menanti kepulanganmu sebanyak usia yang aku miliki. Aku merasa sangat tersiksa bahkan rindu untukmu barangkali telah berubah amarah. Tak lagi kusiram bunga-bunga. Tak lagi kurapikan rak perpustakaan. Tak lagi kurapikan rumah. Tak lagi kubersihkan dapur. Sepertinya, segala hal yang indah telah berubah suram hanya karena kamu bilang sebentar tapi ternyata sangat lama.
Hari ini dan seterusnya, aku tak beranjak dari ranjang. Aku hanya menutup mata dan tersenyum. Setidaknya, bila kamu menemukanku dalam keadaan terlelap seperti ini, kamu masih melihat senyum yang aku karang.
Ah, ya, sesuatu tumbuh di kepalaku, bukan tanaman. Aku tak peduli. Aku hanya ingin tidur agar tak merasakan perputaran waktu. Setiap kali hari bertambah, setiap kali aku belum merasakan kehadiranmu, setiap kali hatiku merasa lelah, sesuatu itu terus tumbuh dan ada saja yang berubah.
Keesokan harinya, di hari ke 27, aku mendengar suara pintu di ketuk. Aku tahu itu kamu. Tapi, kamu terlambat. Kamu hanya mendapati rumah yang telah lapuk dan seekor kelinci yang terjebak di dalamnya.
Cadika, 10 Juni 2018
________
📝DP Anggi