Jumat, 02 Oktober 2015

Meraih Makna Cinta

“(Mungkin) jatuh cinta itu sederhana. Sesederhana ketika kita menginginkan pelangi, namun untuk melihatnya saja, kita harus melewati hujan dan panas yang silih berganti.”
 
Doc. Pribadi
Hari ini, adalah September di tahun kedua. Di antara kabut asap yang sempat menyelimuti, aku terus saja merajut kesibukan dan menyerahkan diri pada kesepian. Bukan menyepikan diri, hanya saja aku benar-benar merasa belum menemukan diriku yang utuh. Kesibukan pun, sengaja kupadatkan agar hatiku tak selalu bertanya, “Bagaimana rasanya jatuh cinta?”
Aku mendengar dari teman-teman sejak pendidikan dasar, perguruan tinggi hingga kini bekerja, jatuh cinta hanya indah awalnya, nelangsa akhirnya. Jatuh cinta bisa berkali-kali dan patah hati pun lebih dahsyat dari itu. Aku sempat membayangkan, jika hati itu adalah ban. Bagaimana bisa ban yang itu dibocorkan berkali-kali lalu ditambal-tambal lagi? Seperti apa bentuk ban itu?
Perempuan yang disibukkan oleh cinta—menurutku, selalu ingin berada didekat orang yang ‘katanya’ ia cintai. Tetapi, yang membuatku bingung adalah, perempuan ini selalu minta untuk dihampiri. Maksudku, mereka jarang sekali bicara lebih dulu sebelum lelaki bicara. Mereka takkan mengungkapkan rindu secara langsung melainkan dengan sindiran saja.

Cingkuak [Headline di Kompasiana]


Namanya Cing Kuak. Orang-orang memanggilnya Pak Kuak. Kelatahan lidah orang-orang melayu, membuat namanya bergeser menjadi Pakuak. Semasa kecil, Pakuak sering kali mendapat ejekan dari kawan-kawannya sebab namanya persis seperti salah satu sebutan kera di kampung ini—Cingkuak. Namun, maknya selalu berpesan, tidak mesti ada asap meski pun ada api.
Pakuak hidup di sebuah bukit yang jauh dari hingar bingar kota. Jalan di sana penuh dengan belukar, pohon-pohon besar, dan masih mudah dijumpai hewan liar. Keinginan Pakuak untuk bersekolah membuatnya kini mengabdi sebagai guru di Bukit Cadika itu walau di masa kecilnya Pakuak selalu diejek oleh ibu-ibu yang anaknya secara turun-temurun kini belajar di sekolah yang didirikan Pakuak.
***
Awan mendung dan angin menampar keras daun-daun, membuat bapak Cing Kuak memacu becak kencang sekali. Saat becak itu akan melewati tikungan, tiba-tiba melintas seekor kera yang biasa disebut Cingkuak oleh masyarakat di sana. Mak yang mendengar suaminya berteriak lantang “Cinggggkuakkkkkk!”, langsung senyum-senyum karena sudah merasa menemukan nama untuk anak semata wayangnya.
“Pak, aku sudah menemukan nama untuk anak kita,” kata mak ketika sampai di halaman rumah.
“Benarkah? Siapa?”
“Cing Kuak,” ucapnya pendek. Bapak Cing Kuak terbatuk-batuk mendengarnya.