Aku tak tahu sejak kapan orang-orang menatap dingin ke arahku, atau mungkin ke arah ibu. Tatapan dingin ini terasa menyakitkan. Berulang kali aku meminta ibu agar pindah dari desa ini, ibu tak mau. Ada hal-hal yang selalu ibu pertimbangkan, entah apa itu.
“Tundukkan kepalamu jika tak ingin memiliki hati yang beku seperti mereka,” bisik ibu. Aku hanya menunduk lantas menyimpan tanya hingga tiba di rumah.
“Bu ...,” aku membuka percakapan. Saat itu, ibu telah membuka tudung di kepalanya. Lalu muncul setangkai bunga berwarna putih.
“Kapan aku memiliki bunga yang indah seperti ibu? Mengapa orang-orang di luar sana tidak memiliki setangkai bunga di kepalanya? Mengapa setiap kita keluar rumah mereka menatap dingin?” Pertanyaanku berloncatan. Entah mana yang akan dijawab ibu lebih dulu.
“Dahulu, mereka memiliki setangkai bunga di kepalanya. Lalu, di suatu hari yang kemarau, angin bertiup kencang. Mereka berhamburan keluar rumah dan berharap hujan segera turun agar bunga di kepala mereka tidak layu. Belum sempat ibu keluar rumah, angin kencang itu membawa bunga-bunga di kepala mereka. Sejak saat itu, tatapan mereka dingin, satu persatu dari mereka menghilang entah ke mana. Jangan khawatir, tak lama lagi akan ada setangkai bunga di kepalamu.” Aku tersenyum, lalu terlelap di pelukan ibu.
Esok hari, aku tak menemukan ibu. Setangkai bunga milik ibu, telah mengakar di kepalaku. Aku tak ingin setangkai bunga jika tak ada ibu. Berwaktu-waktu kemudian, aku telah menjadi bagian dari orang-orang yang memiliki tatapan paling dingin—aku memeluk ibu dalam ingatanku. Setangkai bunga dari ibu telah layu.
________
Greenhill, 07 April 2018
DP Anggi
0 komentar:
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39
Posting Komentar