doc. pribadi |
“(Mungkin) jatuh cinta itu sederhana. Sesederhana ketika kita menginginkan pelangi, namun untuk melihatnya saja, kita harus melewati hujan dan panas yang silih berganti.”
Hari ini, adalah September di tahun kedua. Di antara kabut asap yang
sempat menyelimuti, aku terus saja merajut kesibukan dan menyerahkan
diri pada kesepian. Bukan menyepikan diri, hanya saja aku benar-benar
merasa belum menemukan diriku yang utuh. Kesibukan pun, sengaja
kupadatkan agar hatiku tak selalu bertanya, “Bagaimana rasanya jatuh
cinta?”
Aku mendengar dari teman-teman sejak pendidikan dasar,
perguruan tinggi hingga kini bekerja, jatuh cinta hanya indah awalnya,
nelangsa akhirnya. Jatuh cinta bisa berkali-kali dan patah hati pun
lebih dahsyat dari itu. Aku sempat membayangkan, jika hati itu adalah
ban. Bagaimana bisa ban yang itu dibocorkan berkali-kali lalu
ditambal-tambal lagi? Seperti apa bentuk ban itu?
Perempuan yang
disibukkan oleh cinta—menurutku, selalu ingin berada didekat orang yang
‘katanya’ ia cintai. Tetapi, yang membuatku bingung adalah, perempuan
ini selalu minta untuk dihampiri. Maksudku, mereka jarang sekali bicara
lebih dulu sebelum lelaki bicara. Mereka takkan mengungkapkan rindu
secara langsung melainkan dengan sindiran saja. Mereka menjadi lebih
aneh, lebih aneh daripada saat mereka belum disibukkan cinta. Bukankah
cinta itu, ‘katanya’ saling memberi dan menerima? Kenapa ini maunya
menerima saja?
Sedangkan lelaki yang jatuh cinta, kerap
melakukan pengorbanan yang tak masuk akal. Mereka berkorban seolah-olah
memang itulah cintanya. Itulah istrinya. Itulah satu-satunya perempuan
yang padanya kehidupan akan ia jalani bersama. Tetapi, setelah beberapa
bulan atau tahun, mereka melakukan pengorbanan serupa dengan perempuan
yang berbeda. Bukankah cinta itu, ‘katanya’ saling setia?
Lalu,
di pelajaran cinta selanjutnya, aku mencoba memahami, bagaimana dua
orang yang katanya jatuh cinta tidak memiliki ikatan apa-apa. Bukankah
‘pacaran’ adalah ikatan yang tanpa ikatan? Setahuku, tidak ada status
“pacaran” di kolom KTP. Yang ada, kalau tidak menikah ya lajang (bahasa
KTP-nya sih kawin dan belum kawin). Mungkin, ini jugalah yang
menyebabkan mereka yang mengaku jatuh cinta, seiring berjalannya waktu
mudah saja untuk berpisah.
Aku pernah sangat ingin menanyakan
kepada ibu bagaimana ibu dan bapak bisa jatuh cinta. Cinta yang seperti
apakah yang membuat ibu dan bapak langgeng. Bahkan, ibu tetap merawat
bapak yang sakit-sakitan dan sulit berjalan. Namun, ibu kerap mengatakan
pundaknya, punggungnya, leher hingga kepalanya sakit. Aku pikir itu
hanyalah pegal-pegal biasa. Aku cuma bisa memijat ibu sepulang jam
kantor. Sesampainya dirumah, aku kira saat itu ibu hanya kecapean dan
butuh istirahat hingga membiarkannya tertidur di samping bapak. Namun,
ternyata ibu pergi. Ibu meninggalkan kami semua. Termasuk bapak dan
kesedihan yang sejak dua tahun lalu hingga hari ini masih menggantung
jelas di kedua matanya.
***
Di musim kabut asap ini,
hujan seolah hadiah yang dinantikan para hamba yang telah beberapa kali
menghujani sajadah dan mengunggah banyak doa. Sore itu, hujan yang deras
membuat Pamanku sedikit kuyup sebab ingin menjemput Bibi. Jika ke
kantor, aku selalu minta tolong kepada Bibi untuk menjaga bapak sampai
aku pulang. Jadilah paman mengantar-jemput bibi setiap sore. Sambil
menunggu hujan reda, kami membicarakan banyak hal. Pembicaraan terus
terasa hangat sampai pada suatu topik yang membuatku merasa canggung.
Apalagi kalau bukan soalan jodoh.
“Paman, jangan buat aku merasa bersalah dengan menyinggung soalan ini,” ucapku.
“Apa yang salah?”
“Aku
merasa bersalah sebab di usia yang hampir kepala tiga masih melajang.
Aku merasa bersalah sebab jika memikirkan itu aku juga selalu kepikiran
sama bapak. Siapa yang merawatnya saat aku sibuk dengan diriku dan masa
depanku. Sebab bapaklah aku berada di masa depan yang akan berlalu ini,”
“Duh.. kamu ini. Sudah dewasa kok
pikirannya sempit. Tidak perlu merasa bersalah. Lelaki mapan berkepala
tiga itu tidak buruk. Kalau kamu bekerja, istrimu yang menjaganya. Toh
kami juga akan sering-sering ke sini. Seorang wanita, jika engkau
berikan cinta yang tulus, ia akan memberikan semuanya kepadamu.
Percayalah... kamu hanya harus membuka pintu yang terpaksa ditutup dan
dipalang itu.” Lanjut Pamanku. Mendengar hal itu, bibi jadi
senyum-senyum sendiri.
Aku terus memikirkan ucapan paman. Jujur
saja, aku belum pernah mempelajari wanita secara utuh. Aku selalu
menggabungkan beberapa variabel yang terus kusatukan dengan cinta itu.
Ketika aku mencoba memisahkan masing-masing variabel, aku menemukan
sesuatu yang mungkin tak semua orang memikirkannya.
Setiap kali
aku memiliki waktu yang agak senggang, aku turut memikirkan bagaimana
caranya aku bisa jatuh cinta tanpa patah hati dan terluka. Tanpa
penolakan yang menyakitkan. Tanpa menghamburkan uang dan foya-foya.
Tanpa embel-embel perselingkuhan yang tidak jelas. Dan tanpa ikatan yang
mudah lepas.
***
“Aku mencintaimu...” ucapku suatu
malam kepada seseorang yang usianya lebih muda enam tahun dariku. Inilah
kalimat cintaku yang pertama. Rasanya, sangat mendebarkan hingga sulit
berkata-kata. Namun, yang lebih, lebih, dan lebih mendebarkan adalah
ketika menggenggam tangan lelaki—yang menjadi walinya saat aku
memutuskan untuk menerima perjodohan yang diusahakan paman setelah
berbulan-bulan memikirkan kata-kata pamanku. Aku percaya cinta itu bisa
ditumbuhkan. Sebab menurutku cinta itu cinta, ia takkan menjadi cinta
jika tak memiliki ikatan yang benar-benar mengikat dua orang hamba.
0 komentar:
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39
Posting Komentar