Sabtu, 22 Juni 2013

The Love Story Of Deyoungforest (2)


“Lalu, kau biarkan dahan-dahanmu rapuh tergerus masa…”
“Apalah dayaku, aku pun telah lama menantinya…”
“Apalagi yang akan kau nanti? Kekupu biru? Ia telah pergi! Telah lama mati!”
“Jangan katakan itu padaku! Sudah saatnya aku memaknai diri. Mengapa aku ada di bumi ini,”
“Lalu?”
“Aku pernah berjanji pada diriku sendiri, aku akan berkorban,”
“Berkorban untuk apa? Untuk siapa?”
“Karena kekupuku telah tiada, aku akan berkorban untuk manusia,”
“Kau betul-betul seperti Bul-Bul. Apa gunanya kau mati demi manusia? Sedang manusia tak pernah peduli!”

The Love Story Of Deyoungforest (1)


Layaknya cinta tragis di dunia ini. Rumput liar dan mawar berduri mati oleh semasing ego yang tertanam dalam diri. Semasing mereka tak ingin melukai. Tapi, akhirnya hidup mereka hanya tinggal sejarah yang nisbi. Tinggallah matahari yang juga sempat ego, yang tak ingin memberikan sinarnya kepada semesta raya. Tinggallah teras tua, yang kian berlumut dan lampu neon yang kian redup. Sesekali angin membelai, membuat dedaunan terkulai.

Akulah, akulah bagian dari kisah ini. Bagian dari kisah sunyi. Yang saat itu hanya tinggal bisikan hati yang perih. Aku ada karena sempat mati terinjak di bawah tanah retak. Matahari begitu menyayangku. Katanya, aku mirip dengan Rumput Liar teman lamanya itu. Ia kerap bercerita tentang masa lalu. Aku sudah lelah untuk menasehatinya. Bahwa, masa lalu hanya kaca spion yang boleh dilihat sesekali saja. Bukan setiap hari, karena