"Apakah aku sudah pada tahap mencintai diri sendiri?" Tanyamu suatu hari. Aku mematung, seperti biasa, sebuah kenangan menarik tanganku ke masa lalu.
Mula-mula, aku berada di antara keramaian. Aku melihat diriku merasa sedih tak menemukan sesiapa yang berjanji untuk selalu bersama. Ada yang seperti peduli, namun akhirnya hanya singgah untuk melukai. Barangkali aku adalah ketiadaan di sana, sebab mereka berwarna dan aku kelabu. Maka, aku tak terlalu suka keramaian sebab di sanalah aku paling merasa sepi.
Kemudian, aku berada di tempat sepi. Aku berwarna, tempat itu kelabu. Tak seorang pun datang. Tak seorang pun ada di situ. Mengapa? Barangkali ketiadaan adalah tempat itu sendiri, tak pernah ada yang datang, menetap atau sekadar singgah. Maka, kesendirian adalah saat dimana pikiran dan hatiku selalu saja bertengkar tentang hal-hal sederhana yang tak sederhana.
Aku terus berpindah ke tempat di mana kenangan-kenangan itu pernah minta ditanam dalam-dalam, dipupuk dengan airmata rindu yang kadang-kadang lebih mirip kata melupakan.
Ya, aku ingin melupakan segala di masa lalu. Namun, ah, kukira setelah kukubur, kenangan-kenangan akan mati. Namun, tidak. Mereka terus tumbuh dan kerapkali mengajakku bepergian. Entah apa tujuan mereka, yang pasti ini terjadi setiap kali kamu bertanya perihal mencintai dirimu sendiri.
Meski aku sedang diajak bepergian begini, aku tetap tahu apa yang kamu bicarakan. Aku tetap menyaksikan raut wajahmu yang bingung itu. Sebentar kamu bolak-balik seperti saklar listrik yang rusak. Kemudian melaur, memeluk kedua lututmu.
"Ayolah jawab aku," ucapmu lagi dengan wajah jeruk purut. Seketika semua kenangan beranjak pergi.
"Saat ini belum sepenuhnya. Tapi, bertanya begitu saja sepertinya sudah cukup baik,"
"Lalu, aku harus bagaimana?"
"Berusahalah mengikhlaskan apa-apa yang membuatmu selalu merasa terpenjara di masa lalu. Berusahalah untuk lebih menerima yang telah terjadi. Berusahalah menemukan hal baru yang lebih menarik. Berusahalah bersyukur lebih banyak dan bersabar lebih dalam. Aku tak ingin kamu melulu menarik diri ke dalam kenangan lama yang seolah masih basah padahal sudah seharusnya kering sejak dulu," jawabku. Lama kamu menunduk, berpikir dalam. Sepertinya, apa yang kusampaikan kali ini benar-benar menembus dinding hatimu.
"Baiklah. Aku ingin ke masa depan. Aku ingin mencintai diriku lebih banyak. Berguna lebih banyak. Bertemu orang-orang yang tepat dan membuat kenangan baru." Sorot matamu berubah. Lebih berbinar. Lalu, tiba-tiba segalanya menjadi aneh. Aku tak menemukan diriku dalam ketidakberdayaan. Biasanya, segalanya seperti kaset yang telah berputar ratusan kali namun tetap kembali ke titik semula dimana kamu menanyakan hal yang sama perihal mencintai dirimu sendiri.
Namun, barangkali ini memang saat yang tepat. Lihatlah, saat aku menoleh, kenangan-kenangan yang minta dipelihara, terpenjara di belakangmu. Sedikit pun mereka tidak menyusut meski berusaha tumbuh. Namun tak satu pun juga dari mereka yang mampu menggamit tangan kita seperti biasa. Kulihat kamu tersenyum. Baiklah. Aku ikut. Mari kita membuat kenangan yang tak menyusahkan lagi di masa depan.
Greenhill, 21 April 2018
__________
DP Anggi