|
doc. pribadi |
“(Mungkin) jatuh cinta itu sederhana. Sesederhana ketika kita
menginginkan pelangi, namun untuk melihatnya saja, kita harus melewati
hujan dan panas yang silih berganti.”
Hari ini, adalah September di tahun kedua. Di antara kabut asap yang
sempat menyelimuti, aku terus saja merajut kesibukan dan menyerahkan
diri pada kesepian. Bukan menyepikan diri, hanya saja aku benar-benar
merasa belum menemukan diriku yang utuh. Kesibukan pun, sengaja
kupadatkan agar hatiku tak selalu bertanya, “Bagaimana rasanya jatuh
cinta?”
Aku mendengar dari teman-teman sejak pendidikan dasar,
perguruan tinggi hingga kini bekerja, jatuh cinta hanya indah awalnya,
nelangsa akhirnya. Jatuh cinta bisa berkali-kali dan patah hati pun
lebih dahsyat dari itu. Aku sempat membayangkan, jika hati itu adalah
ban. Bagaimana bisa ban yang itu dibocorkan berkali-kali lalu
ditambal-tambal lagi? Seperti apa bentuk ban itu?
Perempuan yang
disibukkan oleh cinta—menurutku, selalu ingin berada didekat orang yang
‘katanya’ ia cintai. Tetapi, yang membuatku bingung adalah, perempuan
ini selalu minta untuk dihampiri. Maksudku, mereka jarang sekali bicara
lebih dulu sebelum lelaki bicara. Mereka takkan mengungkapkan rindu
secara langsung melainkan dengan sindiran saja. Mereka menjadi lebih
aneh, lebih aneh daripada saat mereka belum disibukkan cinta. Bukankah
cinta itu, ‘katanya’ saling memberi dan menerima? Kenapa ini maunya
menerima saja?