@Indo Pos |
Hijaiyyah, Mataku Membasah
Wahai Hijaiyyah, lama tak bersua
Ingin kudekap engkau yang cua
Layaknya Nun mendekap titik
Takkan terbiar walau sedetik
Wahai Hijaiyyah, sentuhlah mataku
Yang tak dapat lelap dalam terungku
Semasing kita tenggelam dalam sujud
Menggenangi sajadah dalam tahajud
Hijaiyyah, engkau laksana Jim
Seorang ibu yang mendekap anak dalam rahim
Saatku mendekam oleh fitnah
Engkau melamat dalam lensa mata
Siluetmu masih tegak seperti Alif
Dihiasi dirimu yang hanif
Segera aku berlari pulang
Saat sepucuk surat bertuliskan "pulang" membentang
Namun, sayang Hijaiyyah
Kutemui engkau bersama hakulah
Ditaburi bunga-bunga pusara
Hingga mataku membasah
Sang Pemilik mengajak kalian pulang, Hijaiyyah
Dia telah berkhitah
Kupandangi epitaf pada nisanmu
Aku—takdapat lagi mengimamimu
Panam, 16 Juli 2013
Lakara di Tanah Tandus
Ingatkah engkau, ketika lakara kita tambatkan di pelabuhan sunyi?
Setelah itu engkau duduk di pasir yang ditampar lepas ombak sepi
Kata percuma pun kita dapati karena lakara memang tak bisa dipakai untuk melaut
Lalu engkau biarkan amuk menguasai air matamu meski malam kian mengerut
Aku tak pernah memintamu melarungkan harga diri saat hujan angin berubah badai
Dan aku akan berang bila suatu saat kudapati dirimu hanya tinggal selembar baju yang masai
Ketahuilah, hidup tak hanya bercerita tentang perempuan bertelanjang kaki yang menginjak kerang-kerang
Perahu nelayan tak hanya berputar-putar pada laut luas yang selalu membiarkan diri ditusuk karang-karang
Pulanglah, bawa pulang lakaramu dan tepikan ia di tanah tandus
Jangan lagi bermimpi agar perempuan ini bertelanjang kaki di bukit-bukit detritus
Pulangkan juga cita-cita yang pernah kita hamburkan kepada angin
Pulangkan ia kepada awan agar mendung tak lagi karam saat air tawar berubah asin
Panam, 20Agustus 2013
September Tanpa Memori
September tak lagi indah bagiku
Wajahku kian pasi mendatangkan lamunan ke ruang semu
Jasadku terguncang di antara sobekan kecil kertas putih yang berubahabu
; ternodai rintik hitam dosa-dosa masa lalu
Bayangku kian risau dengan rasa sesak yang akan mencapai ubun-ubun
Desahku yang parau berubah pula menjadi sendumu yang afsun
Cahaya itu lenyap, bayangku merana dalam gelap
Setiap hari adalah malam, setiap hari adalah waktu yang pengap
Pernah, suatu ketika aku termenung di perbatasan hening dan riuh
Aku bingung; beranjak ke masa depan tanpa modal ataukah tetap tegar dimasa lalu
Bukan tegar, melainkan berpura-pura tegar tanpa peduli malu
Bukan tiada modal, melainkan rasa malas yang terus saja membelenggu
Aku terlalu lama berpikir sampai-sampai waktu menjorokkanku ke lubangpilu
Aku terlalu tega membiarkan tangismu yang keras kian melamat bersama cahaya bercampur tanah dan debu
September tanpa memori, Oktober pun sama, November, Desember, Januari dan seterusnya
Aku tetap terlelap di kotak tanah yang masih basah, basah oleh tangismu yang pura-pura
Panam, 18 September 2013
Hingga Musim Berubah
Suatu waktu, dulu sekali
Engkaupernah bertanya satu kali
; Mengapa tidak engkau saja, Dik?
Mendengarnya aku terburu berlari karena aku tak bernyali hingga akhirnya merampai sunyi
Lalu aku bertandang ke sebuah bangku yang selalu sepi di bawah rimbunan Akasia
Yang setia menanti kita untuk duduk di bawahnya hingga musim berubah
; dari penghujan hingga kemarau, lalu hujan lagi dan kemarau pun lagi berlalu
Membuat lintasan baru yang menikung aku dalam engkau dan engkau dalam aku
Panam, 03 Oktober 2013
0 komentar:
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39
Posting Komentar