Sabtu, 22 Juni 2013

The Love Story Of Deyoungforest (1)


Layaknya cinta tragis di dunia ini. Rumput liar dan mawar berduri mati oleh semasing ego yang tertanam dalam diri. Semasing mereka tak ingin melukai. Tapi, akhirnya hidup mereka hanya tinggal sejarah yang nisbi. Tinggallah matahari yang juga sempat ego, yang tak ingin memberikan sinarnya kepada semesta raya. Tinggallah teras tua, yang kian berlumut dan lampu neon yang kian redup. Sesekali angin membelai, membuat dedaunan terkulai.

Akulah, akulah bagian dari kisah ini. Bagian dari kisah sunyi. Yang saat itu hanya tinggal bisikan hati yang perih. Aku ada karena sempat mati terinjak di bawah tanah retak. Matahari begitu menyayangku. Katanya, aku mirip dengan Rumput Liar teman lamanya itu. Ia kerap bercerita tentang masa lalu. Aku sudah lelah untuk menasehatinya. Bahwa, masa lalu hanya kaca spion yang boleh dilihat sesekali saja. Bukan setiap hari, karena
akan menyiksa diri.

Matahari bilang, bunga yang paling indah adalah Mawar Berduri. Matahari juga bercerita tentang dongeng di balik terciptanya Mawar Berduri dengan warna merah darah. Mendengar kisah yang diceritakan Matahari, membuat hatiku iri. Begitu besar pengorbanan Burung Bulbul untuk seorang remaja lelaki yang ingin sekali mendapatkan Mawar berwarna merah untuk diserahkannya kepada seorang gadis bangsawan yang dicintainya.

Burung Bulbul memiliki suara yang indah. Ia bersedih melihat seorang remaja lelaki yang terus murung. Ia pun terbang ke sana ke mari untuk mendapatkan Mawar Merah. Tapi, ada syarat yang sangat berat untuk mewujudkannya karena Mawar Merah belum ada kala itu. Dengan mengorbankan diri, saat fajar hampir ditenggelamkan Matahari, Burung Bulbul terus menyanyi sambil menusukkan dirinya pada sebuah duri. Ia terus melakukannya, hingga darahnya tertumpah pada pohon Mawar yang akan mekar.

Cerita yang sama, pernah ia ceritakan kepada Rumput Liar. Itulah yang membuat Rumput Liar selalu penasaran dan diam-diam sebuah perasaan datang. Tapi, tidak untukku. Cerita dari Matahari tak berpengaruh. Namun, cerita itu membuatku ingin berkorban untuk yang aku cintai. Ingin sekali.

***

Hujan, selalu memiliki kisah tersendiri untuk orang yang menyaksikan percikan cintanya. Aku selalu bahagia disiraminya dengan kesejukan. Kesejukan yang meresap pada relungku terdalam. Entahlah, aku lebih suka bersama hujan daripada matahari. Tapi, tanpa keduanya aku takkan bertemu dengan teman sejati—Pelangi. Kehadirannya hanya sesekali, tapi setia dibiasi setelah hujan menyirami dan sesaat setelah matahari menyinari. Indah, bukan?

Bagaimana pun, hujan dan matahari selalu menghiasi hari-hariku. Dedaunku selalu menunggu matahari untuk berfotosintesis. Tubuhku selalu menunggu hujan untuk menuntas dahagaku yang haus. Mesti telah lama aku di sini, kadang aku bosan hanya menjadi saksi. Aku tiada dapat berpindah diri, bahkan berpindah hati. Pada cinta pertamaku, seekor kekupu biru.

Pernah, di bawahku sepasang insane berteduh di kala hujan. Aku ingin menyeru mereka yang berduaan. Kesal dengan wajah merah padam. Beraninya mereka bermaksiat di bawah rahmat hujan yang telah diturunkan Sang Ilahi. Tidaklah mereka berdoa di sepanjang rinai mengharap doa dikabulkan karena di kala hujan adalah waktu yang mustajab, mereka malah saling berpandangan dan tenggelam dalam tatapan. Aku sebenar jijik. Akhirnya, aku melepaskan dahanku dengan bantuan angin. Mereka berlari menjauhiku.

Sepasang anak manusia memang begitu aneh. Entah bagaimana jalan pikiran mereka. Berbeda-beda, pun ada yang serupa tapi tak sama. Padahal mereka dapat berpindah-pindah. Mereka dapat rebah jika terlelah. Mereka dapat memilih jalan hidup mereka. Mereka tak hanya terpatung menjalani takdir Ilahi. Mereka bisa mengubah nasib mereka sendiri. Tapi mereka tetap saja berkeluh kesah. Aku heran tak terkira. Oh, Allah. Seandainya nikmat seperti itu engkau limpahkan padaku…

“Selamat siang Deyoungforest. Apa kabarmu hari ini?” ucap seekor kekupu biru sambil terbang mendekatiku. Lalu, ia rehat sejenak di atas dedahanku.

De… Deyoungforest? Siapa? Aku? Ah, kekupu itu. Aku… Aku suka. Sudah lama ia tak ke sini. Dari mana saja ia? Ia tak pernah menghampiri. Biasanya hanya lewat begitu saja. Harus bagaimana aku menjawab? Dengan suara yang segagah apa aku harus berucap?

             “Aku, baik. Siapa Deyoungforest?”

“Kau. Bolehkah aku memanggilmu begitu? Aku senang mengucapkannya,”

“Tentu. Tentu. Aku Deyoungforest… Untukmu… Tapi, apa maknanya itu?

“Pohon muda di antara hutan belantara. Bagiku begitu. Engkau yang termuda di sini, bukan?”

“Iya…” ucapku malu.

Kau sedang apa? Apa yang engkau pikirkan tadi?”

“Ti… tidak apa-apa, wahai Kekupu Biru. Aku hanya berpikir tentang kenikmatan-kenikmatan yang diberikan Allah pada manusia,”

“Oh, ya? Apa itu?”

“Manusia diberi banyak kenikmatan. Jika mereka lelah, mereka bisa rebah. Mereka dapat berpindah-pindah. Sementara, aku tidak. Dan, manusia terlalu kikir untuk bersyukur,”

“Jadi, itu yang engkau pikirkan? Itulah kuasa Allah. Kenikmatan itu adalah ujian untuk manusia. Jika manusia dapat mensyukurinya, maka ia mendapat pahala. Jika tidak, tunggulah ia menyesal karena tiada mensyukuri nikmat itu. Engkau, tidak boleh menyesal dengan keadaanmu sekarang. Engkau harus bersyukur juga. Jangan tertular kikir oleh manusia. Tidak semua manusia yang kikir dalam bersyukur. Ada di antara mereka yang begitu baik hatinya, aku bisa mengatakan bak malaikat,”

Aku terdiam mendengar kekupu biru. Ada kondisi-kondisi yang lebih baik, ada hal-hal yang lebih bermakna, mengapa kerap fokus pada yang buruk? Mengapa sibuk mengurusi hal yang buruk sehingga aku pun terlihat buruk? Lalu, kulihat Kekupu Biru terbang meninggalkanku. Ah, senyumnya begitu menawan. Ingin kudekap. Tapi, biarlah angin yang menyatakan.

“Sampai bertemu di lain waktu… Deyoungforest…!” serunya.

Kekupu… andai engkau tahu mengapa aku berkeluh seperti itu. Mengapa terkadang aku menyalahi takdir yang sudah merupakan jalan terbaik untukku. Aku mungkin mengikuti keegoisanku, untuk dapat memilikimu. Tapi, aku tak berani mengatakan. Aku takut engkau pergi dan selamanya pergi. Aku takut engkau menghilang dan diriku terlupakan. Kembalilah… Aku akan menantimu… Menantimu… Tentunya, aku berharap kisah ini tak seperti kisah cinta mawar berduri. Aku harap, salah satu di antara kita akan tetap setia menanti… Meski nantinya engkau akan dahulu pergi, karena kutahu hidupmu sebagai serangga indah tak pernah bertahan lama…
.
To Be Continue…
Tulisan Terkait:
(The Love Story Of Thorny Rose) Kisah Cinta Mawar Berduri

Salam hangat dan semangat dari DP Anggi
FAM790M pekanbaru

0 komentar:

:10 :11 :12 :13 :14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39

Posting Komentar