Layaknya cinta tragis di
dunia ini. Rumput liar dan mawar berduri mati oleh semasing ego yang
tertanam dalam diri. Semasing mereka tak ingin melukai. Tapi, akhirnya
hidup mereka hanya tinggal sejarah yang nisbi. Tinggallah matahari yang
juga sempat ego, yang tak ingin memberikan sinarnya kepada semesta raya.
Tinggallah teras tua, yang kian berlumut dan lampu neon yang kian
redup. Sesekali angin membelai, membuat dedaunan terkulai.
Akulah,
akulah bagian dari kisah ini. Bagian dari kisah sunyi. Yang saat itu
hanya tinggal bisikan hati yang perih. Aku ada karena sempat mati
terinjak di bawah tanah retak. Matahari begitu menyayangku. Katanya, aku
mirip dengan Rumput Liar teman lamanya itu. Ia kerap bercerita tentang
masa lalu. Aku sudah lelah untuk menasehatinya. Bahwa, masa lalu hanya
kaca spion yang boleh dilihat sesekali saja. Bukan setiap hari, karena
akan menyiksa diri.
Matahari
bilang, bunga yang paling indah adalah Mawar Berduri. Matahari juga
bercerita tentang dongeng di balik terciptanya Mawar Berduri dengan
warna merah darah. Mendengar kisah yang diceritakan Matahari, membuat
hatiku iri. Begitu besar pengorbanan Burung Bulbul untuk seorang remaja
lelaki yang ingin sekali mendapatkan Mawar berwarna merah untuk
diserahkannya kepada seorang gadis bangsawan yang dicintainya.
Burung
Bulbul memiliki suara yang indah. Ia bersedih melihat seorang remaja
lelaki yang terus murung. Ia pun terbang ke sana ke mari untuk
mendapatkan Mawar Merah. Tapi, ada syarat yang sangat berat untuk
mewujudkannya karena Mawar Merah belum ada kala itu. Dengan mengorbankan
diri, saat fajar hampir ditenggelamkan Matahari, Burung Bulbul terus
menyanyi sambil menusukkan dirinya pada sebuah duri. Ia terus
melakukannya, hingga darahnya tertumpah pada pohon Mawar yang akan
mekar.
Cerita yang sama, pernah
ia ceritakan kepada Rumput Liar. Itulah yang membuat Rumput Liar selalu
penasaran dan diam-diam sebuah perasaan datang. Tapi, tidak untukku.
Cerita dari Matahari tak berpengaruh. Namun, cerita itu membuatku ingin
berkorban untuk yang aku cintai. Ingin sekali.
***
Hujan, selalu memiliki
kisah tersendiri untuk orang yang menyaksikan percikan cintanya. Aku
selalu bahagia disiraminya dengan kesejukan. Kesejukan yang meresap pada
relungku terdalam. Entahlah, aku lebih suka bersama hujan daripada
matahari. Tapi, tanpa keduanya aku takkan bertemu dengan teman
sejati—Pelangi. Kehadirannya hanya sesekali, tapi setia dibiasi setelah
hujan menyirami dan sesaat setelah matahari menyinari. Indah, bukan?
Bagaimana pun, hujan dan
matahari selalu menghiasi hari-hariku. Dedaunku selalu menunggu
matahari untuk berfotosintesis. Tubuhku selalu menunggu hujan untuk
menuntas dahagaku yang haus. Mesti telah lama aku di sini, kadang aku
bosan hanya menjadi saksi. Aku tiada dapat berpindah diri, bahkan
berpindah hati. Pada cinta pertamaku, seekor kekupu biru.
Pernah, di bawahku
sepasang insane berteduh di kala hujan. Aku ingin menyeru mereka yang
berduaan. Kesal dengan wajah merah padam. Beraninya mereka bermaksiat di
bawah rahmat hujan yang telah diturunkan Sang Ilahi. Tidaklah mereka
berdoa di sepanjang rinai mengharap doa dikabulkan karena di kala hujan
adalah waktu yang mustajab, mereka malah saling berpandangan dan
tenggelam dalam tatapan. Aku sebenar jijik. Akhirnya, aku melepaskan
dahanku dengan bantuan angin. Mereka berlari menjauhiku.
Sepasang anak manusia
memang begitu aneh. Entah bagaimana jalan pikiran mereka. Berbeda-beda,
pun ada yang serupa tapi tak sama. Padahal mereka dapat
berpindah-pindah. Mereka dapat rebah jika terlelah. Mereka dapat memilih
jalan hidup mereka. Mereka tak hanya terpatung menjalani takdir Ilahi.
Mereka bisa mengubah nasib mereka sendiri. Tapi mereka tetap saja
berkeluh kesah. Aku heran tak terkira. Oh, Allah. Seandainya nikmat seperti itu engkau limpahkan padaku…
“Selamat
siang Deyoungforest. Apa kabarmu hari ini?” ucap seekor kekupu biru
sambil terbang mendekatiku. Lalu, ia rehat sejenak di atas dedahanku.
De…
Deyoungforest? Siapa? Aku? Ah, kekupu itu. Aku… Aku suka. Sudah lama ia
tak ke sini. Dari mana saja ia? Ia tak pernah menghampiri. Biasanya
hanya lewat begitu saja. Harus bagaimana aku menjawab? Dengan suara yang
segagah apa aku harus berucap?
“Aku, baik. Siapa Deyoungforest?”
“Kau. Bolehkah aku memanggilmu begitu? Aku senang mengucapkannya,”
“Tentu. Tentu. Aku Deyoungforest… Untukmu… Tapi, apa maknanya itu?”
“Pohon muda di antara hutan belantara. Bagiku begitu. Engkau yang termuda di sini, bukan?”
“Iya…” ucapku malu.
“Kau sedang apa? Apa yang engkau pikirkan tadi?”
“Ti… tidak apa-apa, wahai Kekupu Biru. Aku hanya berpikir tentang kenikmatan-kenikmatan yang diberikan Allah pada manusia,”
“Oh, ya? Apa itu?”
“Manusia
diberi banyak kenikmatan. Jika mereka lelah, mereka bisa rebah. Mereka
dapat berpindah-pindah. Sementara, aku tidak. Dan, manusia terlalu kikir
untuk bersyukur,”
“Jadi,
itu yang engkau pikirkan? Itulah kuasa Allah. Kenikmatan itu adalah
ujian untuk manusia. Jika manusia dapat mensyukurinya, maka ia mendapat
pahala. Jika tidak, tunggulah ia menyesal karena tiada mensyukuri nikmat
itu. Engkau, tidak boleh menyesal dengan keadaanmu sekarang. Engkau
harus bersyukur juga. Jangan tertular kikir oleh manusia. Tidak semua
manusia yang kikir dalam bersyukur. Ada di antara mereka yang begitu
baik hatinya, aku bisa mengatakan bak malaikat,”
Aku
terdiam mendengar kekupu biru. Ada kondisi-kondisi yang lebih baik, ada
hal-hal yang lebih bermakna, mengapa kerap fokus pada yang buruk?
Mengapa sibuk mengurusi hal yang buruk sehingga aku pun terlihat buruk?
Lalu, kulihat Kekupu Biru terbang meninggalkanku. Ah, senyumnya begitu
menawan. Ingin kudekap. Tapi, biarlah angin yang menyatakan.
“Sampai bertemu di lain waktu… Deyoungforest…!” serunya.
Kekupu…
andai engkau tahu mengapa aku berkeluh seperti itu. Mengapa terkadang
aku menyalahi takdir yang sudah merupakan jalan terbaik untukku. Aku
mungkin mengikuti keegoisanku, untuk dapat memilikimu. Tapi, aku tak
berani mengatakan. Aku takut engkau pergi dan selamanya pergi. Aku takut
engkau menghilang dan diriku terlupakan. Kembalilah… Aku akan
menantimu… Menantimu… Tentunya, aku berharap kisah ini tak seperti kisah
cinta mawar berduri. Aku harap, salah satu di antara kita akan tetap
setia menanti… Meski nantinya engkau akan dahulu pergi, karena kutahu
hidupmu sebagai serangga indah tak pernah bertahan lama…
.
To Be Continue…
Tulisan Terkait:
(The Love Story Of Thorny Rose) Kisah Cinta Mawar Berduri
Salam hangat dan semangat dari DP Anggi
FAM790M pekanbaru
0 komentar:
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39
Posting Komentar