Senin, 16 Desember 2013

Sulitnya "Mengasuh" 80 Mahasiswa

138718866051409920
*
Saya pernah cerita tentang Komting Mahasiswa Juga Manusia. Hari ini adalah senin yang sama, mata kuliah yang sama (Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah) dengan waktu yang berbeda. Hari ini saya menjalankan amanah itu kembali –alhamdulillah ini amanah di hari terakhir sebagai komting-.
Sejak dua minggu yang lalu saya sudah berpikir-pikir dan percaya bahwa Pak Dosen yang bersangkutan di hari UAS pasti sibuk. Ya, benar sekali perkiraan saya. Di jam UAS, Pak Dosen ternyata rapat bersama Pak/Bu Dosen Ilmu Pemerintahan di Labor Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Riau.
Sebelumnya, Pukul 08.00 pra-UAS Etika Pemerintahan. Alhamdulillah selesai pukul 09.10. Seorang teman mengatakan, “Bisa tolong hubungi bapak? Kita minta kertas ujian sekarang. Menulis ulang makalah yang sudah diketik memerlukan waktu yang lama,” setelah itu saya pun bergegas ke Dekanat, tepatnya Biro IP. Saya menanyakan adakah Pak Dosen, saya pun diberi tahu Pak Dosen sedang berada di ruang Kajur IP (Ketua Jurusan).

Karena segan, saya pun intip-intip ruangan itu dari luar. Setelah beberapa saat, akhirnya saya memberanikan masuk ke ruangan dan berbicara dengan susunan kata yang amburadul, hehehe. Alhamdulillah Pak Dosen paham. Beliau mengatakan, “Staf Biro sedang saya minta mengambil presensi khusus UAS di lantai dua, kita hanya menunggu itu saja dan setelah itu ujian bisa dimulai.”
Saya pun melangkahkan kaki ke mushalla dan menyegerakan dhuha. Dari jauh saya melihat Pak Dosen masuk ke Labor IP (kebetulan labor IP dekat mushalla). Setelah itu, saya kembali lagi ke Biro IP. Saya kira presensi UAS sudah datang. Namun, ternyata staf biro bilang presensi UAS dibawa Pak Dosen tersebut ke labor IP. Duh, pasti di sana banyak dosen –semakin segan—.
Setelah agak lama berdiri di luar, saya pun mengeluarkan HP. Ingin menghubungi beliau saja jika rapat di dalam labor masih berlangsung. Ketika saya melihat HP, ternyata ada dua panggilan tidak terjawab. Ah, kacau! Pak Dosen telfon saya! Teriak saya dalam hati.
“Permisi Pak. Maaf tadi saya tidak jawab telfon. Saya baru dari mushalla,” ucap saya setelah memberanikan diri untuk masuk ruangan setelah seorang dosen keluar dari labor.
“Anggi. Yang penting mereka isi presensi UAS ini.,”
“Presensi yang biasa juga ditandatangani, Pak?”
“Iya. Tapi yang ditulis di kertas ujian presensi UAS, ya. Kebetulan ini ada dua presensi. Yang satu berurut dari 1-60, yang satunya lagi 1-20. Barangkali yang 1-20 ini mengambil kelas belakangan. Oh ya, 1-60 saya beri kode A, 1-20 saya beri kode A1. Jadi, katakan ke mahasiswa kertas ujian diberikan nomor ujian + kode. Contoh, kamu berada di nomor 13 di presensi 1-60. Jadi tulis di kertas ujian kamu 13A. Jangan lupa ambil amplop di Biro. Nanti masukkan kertas ujian ke dalam amplop itu. Tolong kertas ujiannya diurutkan juga berdasarkan nomor presensi ya. Ada lagi yang ingin ditanyakan? Saya rasa tidak,” *jleb*
“Ya, Pak. Tidak ada. Permisi, Pak. Terimakasih.”
Saya pun berjalan ke biro. Sesampainya di sana saya meminta presensi biasa dan amplop. Saya bertemu dua teman saya di sana. Kemarin sore mereka sudah mengambil kertas ujian. Saya kira tidak dibutuhkan lagi kertas ujian yang distempel fakultas.
Saya pun berjalan ke kelas. Sesampainya di sana, kawan-kawan duduk di koridor. Saya meminta mereka masuk. Namun cukup susah untuk meminta mereka masuk. Dengan suara yang cukup lantang saya menjelaskan lagi apa yang tadi dijelaskan pak dosen ke saya.
Seorang senior angkatan 10 pun meminta saya mengambil kertas yang berstempel. Sebelumnya saya sudah ke biro untuk meminta kertas. Biro menyuruh saya ke ruang akademisi. Namun di sana tidak ada kertas karena belum musim UAS. Saya disuruh ke lantai dua. Akhirnya, saya pun berjalan tertatih ke lantai dua. Senior lelaki itu pun meminta dengan sopan.
“Tolonglah, Dek. Semangat. Ambilkan kertasnya, ya…” kebaikan juga yang meluluhkan saya untuk naik ke lantai atas.
Karena saya sendiri dan merasa lelah, saya sempat jengkel ke pada kawan-kawan yang sepertinya tidak menghargai saya. Akhirnya saya berucap setengah berteriak *Nji juga manusia*!
“Saya sudah seperti lelaki di kelas ini. Coba kalian cari di FISIP ini komting perempuan yang mau ke sana ke mari untuk membantu ujian kalian,”
“Salahmu. Kenapa kemarin tunjuk tangan?” tukas seorang lelaki di hadapan saya.
“Itu karena saya tidak melihat seorang lelaki pun di kelas ini yang bersedia menjadi komting. Saya tidak ingin kita dinilai buruk oleh Pak Dosen yang bersangkutan sehingga nilai kita akan buruk seperti semester yang lalu!” ucap saya sedikit membara. Saya buru-buru istighfar. Kawan-kawan yang memahami keadaan saya meminta saya bersabar dan memberi semangat.
Satu-satu kawan saya menyerahkan kertas ujian. Berkali-kali pula saya menjelaskan seperti yang dijelaskan oleh Pak Dosen.  Satu-satu pula senior angkatan 10 yang kebingungan datang tanpa membawa tas. Saya mengulang lagi penjelasan satu-satu. Hingga satu-satu keluar kelas. Saya tetap duduk manis di kursi yang biasanya diduduki Pak Dosen.
Betapa rempongnya mengurutkan 80 kertas. Ada yang menandatangani tapi kertas ujiannya tidak ada. Ada yang kertas ujiannya ada tapi lupa tanda tangan. Alhamdulillah, umumnya kawan-kawan mengucapkan terimakasih kepada saya setelah mengumpulkan kertas ujiannya. Rasa terimakasih itu bagi saya adalah obat penenang di kala lelah.
Ketika hanya tinggal beberapa mahasiswa yang masih sibuk menuliskan UASnya, saya kembali cek kertas ujian dan mengurutkannya. Dalam hati saya; Nji! Ini amanah terakhir! Harus sungguh-sungguh! Buktikan kamu bisa! Insya Allah berkah! Allahu Akbar!
Lalu, salah seorang senior berkata, “Dek. Tungguin ya. Jangan pergi dulu. Abang baru datang ini. Abang tidak mau mengulang lagi dengan Dosen ini,” saya pun mengangguk. Saya pun senyum-senyum ketika mendapati kertas ujian senior laki-laki, di atas kertasnya tertulis Allah dan Nabi Muhammad. Wah, subhanallah. Biasanya enggak ada ini. Hehehe.
Di samping itu, saya pun menunggu mereka UAS sambil membaca buku milik saya yang kebetulan hari ini dikembalikan oleh teman saya;
Ibnul Qayyim menjelaskan di dalam Ighatsatul Lahfan (I:132), “Cinta adalah sesuatu yang menggerakkan seseorang mencari yang dicintainya, yang akan membuatnya sempurna setelah yang dicintainya itu didapatkannya…. …. Cinta mengobarkan setiap hati bergerak menuju semua hal yang dicintai. … … Semua cinta itu batil dan akan lenyap, selain kecintaan kepada Allah dan segala yang mengikutinya, seperti cinta Rasul-Nya, cinta Al-Qur’an, agama dan para wali-Nya.
Sulitnya “mengasuh” 80 mahasiswa –ini kata saya loh–hehe–. Namun, kecintaan saya kepada kawan-kawan karena Allah, menggerakkan hati saya untuk menuntaskan amanah sebagai komting di semester V ini. Alhamdulillah :D *Alhamdulillahnya juga karena—Lega udah curhat. Semoga IP dan IPK semester ini naik dan sesuai harapan. Aamiin. Hehehe.*
Eh ya, Alhamdulillah… ternyata ‘kabar burung’ itu benar. Apa itu? Alhamdulillah, Nji terpilih sebagai Pementor Akhwat Terbaik 2013 di FISIP UR :D
1387193790505655176
Doc. Pri
Allahu Akbar. Ada saja cara Allah memberikan kejutan untuk hamba-Nya :)
Apa pun itu, niatkan karena Allah…. Keep Hamasah :D
Selamat bertempur… Kita akan memasuki musim UAS.
Jangan lupa berdoa dan belajar ya *ikhtiar* :D
Semoga curhatan ini bermanfaat. Oh ya, satu lagi… Nji ingat, waktu tadi belajar etika pemerintahan;
“Manusia sebagai makhluk sosial adalah personal, berarti bahwa setiap individu bernilai tak terhingga, dan… suatu masyarakat hanya bersifat manusiawi apabila masing-masing manusianya dihormati sebagai manusia” ~Franz Magnis Suseno
Terkadang, manusia lupa menghormati manusia sebagai manusia
Pondokan Ikhlas, Panam 16 Desember 2013
Salam hangat dan semangat dari DP Anggi
13871941972029733528

0 komentar:

:10 :11 :12 :13 :14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39

Posting Komentar