“Nak, kau tahu? Mata ayah, dan mata ibu sama—mirip sekali. Tapi, matamu berbeda dengan kami. Alis matamu seperti ayah. Bibirmu seperti ibu. Hidungmu seperti ayah. Senyummu seperti ibu. Rambutmu juga seperti ibu, begitu pun lesung pipimu. Di dalam dirimu, lebih banyak ibu. Jika ibu tidak ada, kau bisa melihat dirimu di cermin dan pandanglah wajahmu. Ibu juga ada di sana…”
***
Wajah yang manis itu meneteskan rintik
hangat di pipinya.
Matanya memerah, kesedihannya
meruah. Masih
tampak kepulan asap yang menyelimuti puing rumahnya. Anak perempuan itu menatap
kosong pada tanah yang kian arang. Tak lagi tampak atap rumah yang dulu selalu membuatnya tersenyum
sepulang dari sekolah. Tak ada lagi sosok yang menatapnya dengan senyum yang
teduh ketika melihatnya makan dengan lahap.
“Nak... Mari kita pergi. Tempat ini sudah tidak bisa
ditinggali,”
ucap Darso pada anaknya, Lily.
“Ibu di mana, Yah?”
“Ibu sudah senang, Nak,”
“Benarkah?” tanyanya dengan mata
berbinar. Bibirnya
seketika melengkung indah.
“Iya, Nak. Tapi, kita tidak bisa lagi
bersama ibu,”
“Kenapa?” ucapnya dengan wajah
yang seketika menjadi mendung.
“Ibu sudah kembali pada Ilahi. Tugas ibu sudah selesai untuk
menjagamu,”
“Mengapa ibu sudah selesai? Apakah ibu tidak ingin menjagaku
lagi? Ibu tidak menyayangiku?”
“Bukan begitu, Nak.
Ibu pasti sangat menyayangimu. Bahkan lebih menyayangimu daripada dirinya
sendiri. Mari kita pergi dari sini dan kebumikan ibu serta mendoakannya. Lily
harus rajin mendoakan ibu, ya?” Lily pun mengangguk.
***
Terkadang, rindu Lily meletup-letup saat ia
mengingat ibu.
Apatah lagi, bulan ini adalah September yang pernah dijanjikan ibunya. Janji yang kini
hanyalah kenangan dan tak mungkin dilupakan. Ia pun sering menangis setelah melihat wajahnya di cermin.
“Nak, kau tahu? Mata ayah, dan
mata ibu sama—mirip sekali. Tapi, matamu berbeda dengan kami. Alis matamu seperti
ayah. Bibirmu seperti ibu. Hidungmu seperti ayah. Senyummu seperti ibu. Rambutmu juga seperti ibu, begitu pun lesung
pipimu. Di dalam dirimu, lebih banyak ibu. Jika ibu tidak ada, kau bisa
melihat dirimu di cermin dan pandanglah wajahmu. Ibu juga ada di sana…”
Kata-kata itu selalu teringat olehnya
sebagai ucapan yang paling mengganggu memorinya tentang ibu. Lagi, ia menangis. Menyudut di kamar,
dan memeluk kedua lututnya. Lily
merasa bersalah telah meninggalkan rumah ketika ibunya sedang tidur siang saat
ingin bermain ke rumah temannya.
Tiba-tiba
Lily
tersenyum. Ia mendorong tempat tidur, menepikan semua barang yang menurutnya mengganggu.
Ia berlari keluar, mencari kapur yang cukup banyak di
sebuah sekolah yang dekat dengan rumah barunya. Tak lama, ia berlari lagi ke kamar.
Sejak itu, ia tidak lagi merasa
sedih. Lily
yang biasa murung, kini tampak ceria. Ayahnya terheran-heran, karena setiap Ayah ingin masuk ke kamar Lily, Lily melarangnya.
“Darso, kenapa?” tanya Iman di telepon. Iman adalah teman akrab Darso sejak di SMA.
“Tidak kenapa-napa, Man. Hanya
terpikir Lily
saja,”
“Lily, kenapa? Apa ia menangis lagi?”
“Itulah, Man. Sejak kuberikan
kamar khusus untuknya,
ia tak tampak bersedih lagi,”
“Bukankah itu bagus? Selamat! Ayah yang hebat!”
“Tapi, apa yang ia lakukan di
dalam kamar itu? Aku takut terjadi sesuatu padanya,”
“Maksudmu?”
“Ia tidak pernah mengizinkanku memasuki
kamarnya,”
“Barangkali ia
masih bersedih, Dar,”
“Ya, aku tahu. Aku
pun merasakan hal yang sama dengan anakku. Namun, di samping luka batinku, aku
juga harus menghibur anakku, dan tentunya diriku sendiri,”
“Bagaimana jika saat ia tertidur
kau membuka pintu?”
“Ia mengunci pintunya, Man,”
“Mengapa tidak kau tanya
langsung saja?”
“Aku takut ia marah padaku,”
“Tidak apa, tanya saja. Aku
yakin kau bisa melakukannya, Dar,” ucap Iman. Darso pun menyudahi percakapan
di telepon dan mengucap salam.
Tak lama Darso memanggil Lily agar membeli sebungkus kopi. Lily keluar kamar dan lupa mengunci pintu. Setelah
Lily pergi, ayahnya mencoba melangkah ke kamar Lily. Namun, saat ingin
melangkah, Lily kembali lagi ke rumah
dengan tergesa.
“Ayah tadi menyuruhku membeli kopi, uangnya mana?” Ayahnya langsung terkekeh
mendengar itu. Ia benar-benar lupa memberi uang. Karena takut, Darso pun mengurungkan
niatnya.
***
Setiap hari, Lily memastikan ia mempunyai
stok kapur.
Setiap keluar kamar, ia selalu terlihat bermandikan kapur.
“Apa yang kau perbuat, Ly? Setiap keluar kamar,
kau pasti penuh kapur. Pintu kamar juga selalu terkunci. Mengapa Ayah tidak boleh masuk ke
kamar itu?” lama Lily terdiam mendapati tanya
ayahnya.
“Lily, jawab pertanyaan Ayah…” sambung ayahnya.
“Setiap Lily menggambarnya, dan
tidur di atasnya, gambar itu terhapus, itu membuat mimpi Lily tak usai-usai…” ucap Lily dengan suara bergetar.
“Lily, jangan menangis, Nak…”
“Lily....” belum sempat ia melanjutkan ucapannya, ia
segera berlari ke kamar dan mengunci pintu. Ayahnya bertambah bingung. Ia sama sekali tidak
mengerti dengan apa yang dialami Lily.
“Nak! Buka! Ayah khawatir kepadamu!” teriak Darso dengan suara
yang parau setengah menangis.
“Ayah tidak mengerti perasaanku!”
“Bagaimana tidak,
Nak…. Ayah sangat mengerti…” Mata ayah Lily membasah.
Lima belas menit berlalu.
Tangisan Lily
masih terdengar sesegukan. Hati Lily bergemuruh. Dengan
sisa tangis yang masih mengalir di kedua matanya, ia membuka pintu perlahan. Ayahnya masuk dengan
hati-hati, matanya langsung tertuju pada gambar yang ada di lantai.
“Nak…” ucap ayahnya memeluk Lily.
“Apa yang kau gambar di
lantai ini?” lanjutnya.
“Lily masih terbayang-bayang wajah ibu…. Ayah, setiap hari, Lily tidur di sini. Di
lantai ini tanpa alas. Lihat ini…” ucapnya meredakan tangis dan melepaskan pelukan sang ayah. Ia mulai menggambar dengan kapur di tangannya. Gambar itu abstrak. Namun,
lama-lama terlihat cukup jelas—terlihat seperti
perempuan.
“Ini Ibu. Di sini aku…” ucap Lily merebahkan diri di
lantai—tepat di atas gambar yang
menurutnya seperti ibu.
“Lily selalu tidur di sini. Dengan begitu, Lily tidak merasa sedih
lagi. Ini September. Ibu pernah berjanji; September penuh adalah hari-hari yang akan ibu sediakan untuk Lily setelah kenaikan kelas. September penuh adalah hadiah untuk Lily
karena Lily sudah meraih juara kelas….”
Ilustrasi : soulcifi.com |
Pondokan
Ikhlas, 11 September 2013
Salam
hangat dan semangat dari DP Anggi
FAM790M
Pekanbaru
0 komentar:
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39
Posting Komentar