Rabu, 11 September 2013

Janji Ibu dalam September



  “Nak, kau tahu? Mata ayah, dan mata ibu sama—mirip sekali. Tapi, matamu berbeda dengan kami. Alis matamu seperti ayah. Bibirmu seperti ibu. Hidungmu seperti ayah. Senyummu seperti ibu. Rambutmu juga seperti ibu, begitu pun lesung pipimu. Di dalam dirimu, lebih banyak ibu. Jika ibu tidak ada, kau bisa melihat dirimu di cermin dan pandanglah wajahmu. Ibu juga ada di sana

***

Wajah yang manis itu meneteskan rintik hangat di pipinya. Matanya memerah, kesedihannya meruah. Masih tampak kepulan asap yang menyelimuti puing rumahnya. Anak perempuan itu menatap kosong pada tanah yang kian arang. Tak lagi tampak atap rumah yang dulu selalu membuatnya tersenyum sepulang dari sekolah. Tak ada lagi sosok yang menatapnya dengan senyum yang teduh ketika melihatnya makan dengan lahap.

                “Nak... Mari kita pergi. Tempat ini sudah tidak bisa ditinggali,” ucap Darso pada anaknya, Lily.
                “Ibu di mana, Yah?”
                “Ibu sudah senang, Nak,
                “Benarkah?” tanyanya dengan mata berbinar. Bibirnya seketika melengkung indah.
                “Iya, Nak. Tapi, kita tidak bisa lagi bersama ibu,
                “Kenapa?” ucapnya dengan wajah yang seketika menjadi mendung.
                “Ibu sudah kembali pada Ilahi. Tugas ibu sudah selesai untuk menjagamu,
                “Mengapa ibu sudah selesai? Apakah ibu tidak ingin menjagaku lagi? Ibu tidak menyayangiku?
                “Bukan begitu, Nak. Ibu pasti sangat menyayangimu. Bahkan lebih menyayangimu daripada dirinya sendiri. Mari kita pergi dari sini dan kebumikan ibu serta mendoakannya. Lily harus rajin mendoakan ibu, ya?” Lily pun mengangguk.
***
                Terkadang, rindu Lily meletup-letup saat ia mengingat ibu. Apatah lagi, bulan ini adalah September yang pernah dijanjikan ibunya. Janji yang kini hanyalah kenangan dan tak mungkin dilupakan. Ia pun sering menangis setelah melihat wajahnya di cermin.
                “Nak, kau tahu? Mata ayah, dan mata ibu sama—mirip sekali. Tapi, matamu berbeda dengan kami. Alis matamu seperti ayah. Bibirmu seperti ibu. Hidungmu seperti ayah. Senyummu seperti ibu. Rambutmu juga seperti ibu, begitu pun lesung pipimu. Di dalam dirimu, lebih banyak ibu. Jika ibu tidak ada, kau bisa melihat dirimu di cermin dan pandanglah wajahmu. Ibu juga ada di sana
                Kata-kata itu selalu teringat olehnya sebagai ucapan yang paling mengganggu memorinya tentang ibu. Lagi, ia menangis. Menyudut di kamar, dan memeluk kedua lututnya. Lily merasa bersalah telah meninggalkan rumah ketika ibunya sedang tidur siang saat ingin  bermain ke rumah temannya.
Tiba-tiba Lily tersenyum. Ia mendorong tempat tidur, menepikan semua barang yang menurutnya mengganggu. Ia berlari keluar, mencari kapur yang cukup banyak di sebuah sekolah yang dekat dengan rumah barunya. Tak lama, ia berlari lagi ke kamar.
                Sejak itu, ia tidak lagi merasa sedih. Lily yang biasa murung, kini tampak ceria. Ayahnya terheran-heran, karena setiap Ayah ingin masuk ke kamar Lily, Lily melarangnya.
                “Darso, kenapa?” tanya Iman di telepon. Iman adalah teman akrab Darso sejak di SMA.
                “Tidak kenapa-napa, Man. Hanya terpikir Lily saja,”
                “Lily, kenapa? Apa ia menangis lagi?”
                “Itulah, Man. Sejak kuberikan kamar khusus untuknya, ia tak tampak bersedih lagi,”
                “Bukankah itu bagus? Selamat! Ayah yang hebat!
                “Tapi, apa yang ia lakukan di dalam kamar itu? Aku takut terjadi sesuatu padanya,”
                “Maksudmu?”
                “Ia tidak pernah mengizinkanku memasuki kamarnya,”
                “Barangkali ia masih bersedih, Dar,”
                “Ya, aku tahu. Aku pun merasakan hal yang sama dengan anakku. Namun, di samping luka batinku, aku juga harus menghibur anakku, dan tentunya diriku sendiri,”
                “Bagaimana jika saat ia tertidur kau membuka pintu?”
                “Ia mengunci pintunya, Man,”
                “Mengapa tidak kau tanya langsung saja?”
                “Aku takut ia marah padaku,”
                “Tidak apa, tanya saja. Aku yakin kau bisa melakukannya, Dar,” ucap Iman. Darso pun menyudahi percakapan di telepon dan mengucap salam.
                Tak lama Darso memanggil Lily agar membeli sebungkus kopi. Lily keluar kamar dan lupa mengunci pintu. Setelah Lily pergi, ayahnya mencoba melangkah ke kamar Lily. Namun, saat ingin melangkah, Lily kembali lagi ke rumah dengan tergesa.
                “Ayah tadi menyuruhku membeli kopi, uangnya mana?” Ayahnya langsung terkekeh mendengar itu. Ia benar-benar lupa memberi uang. Karena takut, Darso pun mengurungkan niatnya.
***
                Setiap hari, Lily memastikan ia mempunyai stok kapur. Setiap keluar kamar, ia selalu terlihat bermandikan kapur.
                “Apa yang kau perbuat, Ly? Setiap keluar kamar, kau pasti penuh kapur. Pintu kamar juga selalu terkunci. Mengapa Ayah tidak boleh masuk ke kamar itu?” lama Lily terdiam mendapati tanya ayahnya.
                “Lily, jawab pertanyaan Ayah…” sambung ayahnya.
                “Setiap Lily menggambarnya, dan tidur di atasnya, gambar itu terhapus, itu membuat mimpi Lily tak usai-usai…” ucap Lily dengan suara bergetar.
                “Lily, jangan menangis, Nak…
                “Lily....” belum sempat ia melanjutkan ucapannya, ia segera berlari ke kamar dan mengunci pintu. Ayahnya bertambah bingung. Ia sama sekali tidak mengerti dengan apa yang dialami Lily.
                “Nak! Buka! Ayah khawatir kepadamu!” teriak Darso dengan suara yang parau setengah menangis.
                “Ayah tidak mengerti perasaanku!”
                “Bagaimana tidak, Nak…. Ayah sangat mengerti…” Mata ayah Lily membasah.
                Lima belas menit berlalu. Tangisan Lily masih terdengar sesegukan. Hati Lily bergemuruh. Dengan sisa tangis yang masih mengalir di kedua matanya, ia membuka pintu perlahan. Ayahnya masuk dengan hati-hati, matanya langsung tertuju pada gambar yang ada di lantai.
                “Nak…” ucap ayahnya memeluk Lily.
“Apa yang kau gambar di lantai ini?” lanjutnya.
                “Lily masih terbayang-bayang wajah ibu…. Ayah, setiap hari, Lily tidur di sini. Di lantai ini tanpa alas. Lihat ini…” ucapnya meredakan tangis dan melepaskan pelukan sang ayah. Ia mulai menggambar dengan kapur di tangannya. Gambar itu abstrak. Namun, lama-lama terlihat cukup jelasterlihat seperti perempuan.
          “Ini Ibu. Di sini aku…” ucap Lily merebahkan diri di lantai—tepat di atas gambar yang menurutnya seperti ibu.
Lily selalu tidur di sini. Dengan begitu, Lily tidak merasa sedih lagi. Ini September. Ibu pernah berjanji; September penuh adalah hari-hari yang akan ibu sediakan untuk Lily setelah kenaikan kelas. September penuh adalah hadiah untuk Lily karena Lily sudah meraih juara kelas….”


Pondokan Ikhlas, 11 September 2013
Salam hangat dan semangat dari DP Anggi
FAM790M Pekanbaru

0 komentar:

:10 :11 :12 :13 :14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39

Posting Komentar