September tak lagi indah bagiku. Ingatan
memudar, hatiku membelukar. Semua hilang termasuk wujudku. Lenyap, termasuk
jarakku dan engkau. Engkau. Ya, engkau yang membuatku menjadi seperti sekarang;
merangkak tiada tujuan, meraba tiada pegangan.
Wajahku kian pasi dengan warna
bibir tak berdarah. Jasadku terguncang di antara sobekan kecil kertas putih
yang berubah abu: ternodai rintik hitam dosa-dosa. Kakiku, tanganku,
sendi-sendiku pun terasa kaku tak berdaya. Aku mematung di antara dua dinding atas-bawah,
dua dinding di kiri-kanan yang gulita.
Bayangku kian risau dengan rasa
sesak yang akan mencapai ubun-ubun. Desahku yang parau berubah pula menjadi
sendumu saat tangis tak lagi mampu dibendung riasmu yang berkilau. Cahaya itu
lenyap, bayangku ikut lenyap! Setiap hari adalah malam. Setiap hari adalah
waktu tidurku, sayang.
Pernah, suatu ketika aku
termenung di perbatasan hening dan riuh. Aku bingung; beranjak ke masa depan
tanpa modal, ataukah tetap tegar di masa lalu. Bukan tegar, melainkan
berpura-pura tegar tanpa peduli malu. Bukan tiada modal, melainkan rasa malas yang
terus saja membelenggu.
Aku terlalu lama berpikir
sampai-sampai waktu menjorokkanku ke lubang pilu. Aku terlalu jahat karena
membiarkan tangismu yang keras kian melamat saat cahaya bercampur tanah dan
debu. September tanpa memori, Oktober pun sama. November, Desember, Januari dan
seterusnya, aku tetap terlelap di kotak tanah yang masih basah. Basah oleh
tangismu, sayang.
* Bagaimana jika kita yang
berada di dalam kotak tanah yang basah itu?
Pondokan Ikhlas, 18 September 2013 21:17
Salam hangat dan
semangat dari DP Anggi
FAM790M Pekanbaru
0 komentar:
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39
Posting Komentar