Ilustrasi : www.islamedia.web.id |
*
Kisah kita ketika itu adalah embun yang enggan menyatu dengan daun. Ia lebih mudah menimpa tanah dan bertahan di sana hingga menggurun. Bukankah sama seperti saat aku memaksa diriku untuk merindu? Membiarkanmu kian jauh dan aku sibuk dengan kesepianku. Membiarkan air mataku tumpah di sajadah dan memuncak di sepertiga malam yang dikara.
Pertemuan kita saat itu, adalah ucapan salam yang tertahan di ujung lidah dan menggenang di lubuk hati. Ia tak ingin terucap meski ingin sekali menyampaikan. Bukankah sama seperti lilin-lilin yang terpaksa mati sebelum habis terbakar ketika angin mendekapnya? Menjadikanku tiada berguna dan membiarkanmu berlalu begitu saja.
Waktu terasa begitu menikam. Kerap memaksaku diam seperti prajurit yang dibungkam majikan. Tiadakah engkau paham? Masihkah engkau harus kutatah seperti paku yang memahat papan. Kapankah engkau dapat kugenggam agar kita dapat menumpahkan warna di atas kanvas, lantas langit membiarkan awan bergerak pelan.
Adakah waktu yang dapat kuabadikan saat kita berdua berlari di antara lilan-lilan dan berhenti ketika napas kita tersengal? Lalu kita memandang semasing wajah, dan berlari lagi dengan tawa terpecah. Kumohon, mengalahlah sekali saja dan untukmu kubiarkan diriku kalah berkali-kali.
Kadang aku merasa lelah. Kubiarkan senja pergi tanpa harus berbuat apa. Persis seperti daun-daun yang tak pernah tua namun menguning dan tanggal dari tangkainya. Memilih pergi dan mengendap pada lapisan tanah. Berhenti berharap meski tangan tetap menengadah. Karena senja kala pertama kulihat engkau, adalah senja yang sama—ketika aku mengenal apa itu cinta.
Bukit Cadika
23 Agustus 2013
Salam hangat dansemangat dari DP Anggi
FAM790M Pekanbaru
kesan kunjungan pertama saya ke sini...
BalasHapuskeren bu!! :)
Terimakasih Mas!
Hapussalam :)