Sabtu, 07 September 2013

Satu Lagi Pensyair Berkualitas dari Kompasiana! (Oleh Kang Insan)


Oleh Kang Insan, Viewer Karya Fiksi Kompasiana (Fiksiana)

Sebelumnya, saya tidak menyangka tulisan ini tertuju kepada saya. Terimakasih, Guruku... Kang Insan...

Banyak orang yang memandang sebelah mata terhadap karya sastra yang dipublikasikan lewat dunia maya. Sebab, konon dunia maya alias internet telah menghasilkan karya sastra-karya sastra yang instant, tanpa “perenungan”, dan bahkan situasi itu diperparah oleh sifat publikasi internet yang langsung tayang menyebabkan karya sastra itu muncul ke permukaan tanpa adanya second opinion yang bisa berfungsi sebabai filter untuk menyaring mana karya sastra yang berkualitas dan mana yang tidak. Selain itu, sifat komentar yang muncul di internet adalah komentar-komentar yang bersifat pujian sehingga menyebabkan penyair terlena padahal karya sastranya belum bagus betul. Parahnya, kritikus sastra sangat jarang bermain-main di dunia maya sebab tadi itu sangat-sangat sedikit ditemukan karya sastra bermutu di sana. Terlalu “kejam” mungkin jika saya katakan bahwa di dunia maya dipenuhi dengan “sastra junk”!
(kalau di dunia makanan ada junk food). Seandainya di dunia maya ada kritikus atau reviewer sastra yang konsisten mengulas karya-karya sastra di dunia maya, mungkin sastra dunia maya (sastra cyber, sastra internet, sastra apapun namanya) akan bersumbangsih besar terhadap perkembangan kesusastraan Indonesia sebagai warga kesusastraan dunia (pinjam istilah Sang Paus Sastra, HB Jassin).

Di dunia maya pun telah banyak lahir komunitas-komunitas yang berkaitan dengan sastra. Komunitas-komunitas itu pada dasarnya dibentuk sebagai bentuk penyaluran hobi, kecintaan, atau kesenangan terhadap sastra, sekaligus tempat atau ajang berlatih menulis sastra. Sayangnya, sekali lagi, sangat sedikit komunitas yang mampu bermetamorfosis menjadi gerakan sastra Indonesia berkualitas. Namun, bagi saya, sebuah komunitas tetap diperlukan sebab di sanalah setiap anggota komunitas mulai berani menunjukkan karyanya. Ini penting, sebab banyak sekali pernyataan di komunitas-komunitas dari mereka yang mempublikasikannya karyanya dengan menyatakan diri, “Saya sedang belajar” sehingga seolah-olah ada rasa malu kalau karyanya dinilai jelek. Ya, proses belajar diawali dengan menulis, lalu mempublikasikan karyanya agar dibaca, dinilai orang, bahkan mungkin dicaci-maki. Komunitas mengajarkan untuk saling-menghormati dan saling berbagi, lalu berujung kepada kepercayaan diri anggota komunitasnya.

Berbicara tentang komunitas, saya ingin menyebut contoh, yaitu Fiksiana Community (FC), yang namanya diambil dari Fiksiana, yakni wahana khusus dari Kompasiana yang disediakan bagi Kompasianer yang mencintai dan menyukai dunia fiksi. Ada sekitar 2600-an member komunitas ini. Dan, tentu saja ada banyak penulis fiksi, baik penulis puisi, cerpen, maupun drama. Lebih-lebih lagi, ada anggota komunitas ini yang telah menerbitkan buku karya mereka. Sebut saja beberapa nama, seperti Arimbi Bimoseno, Bunga Ilalang, Selsa, Sekar Mayang, Edi Priyatna, Leil Fataya, Erna Suminar, dan beberapa nama lagi. [Memang saya harus melakukan riset lebih jauh soal ini, saya perlu lebih jauh melihat apakah benar-benar ada penulis yang menerbitkan buku dipengaruh oleh bergabung dirinya dengan komunitas? sebab beberapa nama yang saya sebut di atas, ada yang bukunya terbit sebelum bergabung dengan komunitas]. Terlepas dari itu semua, saya memiliki keyakinan bahwa komunitas seperti Fiksiana Community bisa melahirkan para penulis yang berkualitas.

Keyakinan saya itu, misalnya, didukung dengan kenyataan bahwa semakin banyaknya penulis fiksi yang sangat mencintai fiksi sehingga mau bersusah payah belajar, dan berdiskusi secara terbuka. Ya, di FC ada banyak nama. Dan, saya sering diam-diam membaca karya mereka, mengagumi karya mereka, bahkan mungkin saya iri terhadap mereka. Jika pada kesempatan ini saya menyebut sebuah nama, ini hanya soal waktu dan kebetulan saja.

Ada satu pensyair yang karya-karya sangat bagus, menurut saya, di Kompasina yang bergabung di FC, yaitu Dp Anggi. Perempuan yang tinggal di Pekanbaru ini rasanya sangat tergila-gila dengan puisi. Kalau tidak salah, telah menerbitkan beberapa buku secara kolaborasi. Ada beberapa cerpennya yang pernah saya baca, kekhasannya adalah Dp Anggi tetap mempertahankan bahasa yang puitis dalam cerpennya itu. Bisa jadi demikian, sebab Dp Anggi tampaknya sedang menggilai puisi. Puisi-puisinya bisa dilihat di http://www.kompasiana.com/DP_anggi.

Apa yang luar biasa dari puisi-puisi Dp Anggi? Yang luar biasa adalah keberanian Dp Anggi untuk “mempermainkan” kata, sehingga tercipta bentuk-bentuk baru atau istilah-istilah baru yang keluar dari proses gramatikalisasi. Pun, keberanian memakai kata-kata yang secara frekuensi pemakaian sangat kecil sehingga memaksa pembaca-pembacanya harus membuka kamus. Coba perhatikan kata “gemerawan”, “dibenum” pada puisi “Rindu Berselimut Gula”. Kata “gemerawan” tidak ditemukan dalam kamus, saya menduga pada proses derivasi bertingkat di sini. Atau, bisa jadi terdapat “kontaminasi morfemis” sehingga menghasilkan bentukan aneh, tapi secara halal dalam puisi selama kata itu memiliki estitika dan tetap menyangkut keutuhan makna puisi. Lalu,”dibenum” asing bukan? Kamus memberi makna kata itu “diangkat sebagai pegawai”. Kurang akrab di telinga kita kata itu, bukan?

Apalagi dalam puisi ”Raudah-Raudah Sajadah”, puisi yang bertema relijius ini malahan banyak ditaburi kata-kata yang kurang sering di dengar, seperti “raudah”=taman, “saadah”=kebahagiaan, “tugur”=menunggui. Itu saja bukan sekadar pembentukan kata. Dp Anggi pun membuat larik-larik yang liris dan manis. Malahan ada perumpamaan yang nyaris sempurna mnyembunyikan maknanya, yaitu pada “Hijaiyah Mataku Membasah”. Coba perhatikan /Hijaiyah, engkau laksana Jim/Seorang ibu yang mendekap anak dalam rahim. Huruh Jim dalam huruf Arab, mirip sekali dengan bentuk kandungan ibu yang di dalamnya ada janinnya.

Pada intinya, tulisan saya ini ingin menegaskan bahwa di dunia maya pun bisa lahir karya-karya sastra bagus yang diciptakan oleh penulis-penulis yang memanfaatkan komunitas dunia sebagai proses pembelajarannya. Contohnya adalah Dp Anggi yang menjadi member Fiksiana Community.

————–Tambun Selatan, 14 Juli 2013


Saya ucapkan banyak terimakasih pada Kang Insan, yang awalnya beliau meminta izin mengulas karya, tak tahunya beliau menulis tulisan ini. Ini sebuah kehormatan untuk saya pribadi. Jazakallah Kang Insan...

Salam hangat dan semangat dari DP Anggi
FAM790M Pekanbaru

0 komentar:

:10 :11 :12 :13 :14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39

Posting Komentar