Minggu, 04 Agustus 2013

Surat Cinta Sederhana DP Anggi, Untuk...

Ilustrasi : izzysabki.wordpress.com
 *
Hujan di hari ke-tiga Agustus. Asaku hampir terputus. Di Ramadhan yang hanya tinggal menghitung hari, aku berusaha mengingat kapan pertama kali engkau melihat dunia. Kapan pertama kali engkau menangis dan tertawa. Engkau tak suka pesta. Tak suka diberi hadiah. Pada suatu ketika, akhirnya engkau tertawa lepas di depan kue berlilin yang sudah kutata. Hanya sekali itu saja. Dan selanjutnya takkan pernah. Senyum yang renyah itu berderai—gurih, hingga menampakkan gerahammu. Hanya itu senyum dan tawa yang paling kuingat.
Wajah khawatir kala itu, adalah ketika
kita balita. Kenangan lama, yang hampir membuatku hilang nyawa. Namun engkau menyelamatkanku dari kolam ikan yang menjadi saksi kehidupan kita. Engkau berteriak sambil menarikku. Bukan tanganku, melainkan kakiku. Posisiku lucu kala itu. Lucu berbalut ketakutan yang dihantui kehilangan. Engkau sungguh pintar di usia lima dan aku tiga. Engkau tak memilih menceburkan diri seperti kebanyakan orang. Jika engkau memilih itu, mungkin kita berdua telah tiada.
Aku mencoba terus memutar ingatan lama. Ketika aku dan engkau begitu satu dalam cinta. Engkau selalu bangga memilikiku—kerap memanggilku ke luar rumah hanya agar teman-teman sebayamu melihat wajahku. Seiring waktu, hanya pigura semu berwarna abu yang dipajang ibu di ruang tamu. Namun, sejak rumah kita diperbaiki, entah ke mana pigura itu berlabuh. Album foto ayah yang berwarna cokelat muda itu, letaknya aku juga tak tahu. Pasti sudah dingin diselimuti debu.
Entah wajah siapa yang harus kuingat saat engkau dan ayah kurindu. Bayang abstrak saja, yang mewakili mata, alis, hidung, bentuk wajah, lesung pipi, barisan gigi serta tawa—yang kususun dari pecahan puzzle masa lalu. Entah dengan tangisan yang seperti apa saat aku melihat ibu sendiri di antara belantara waktu. Aku hanya perempuan biasa, tak hebat seperti ibu. Hanya doa yang mampu kuseru.
Mungkin, jika engkau ada di sisiku membaca surat ini, engkau pasti menertawaiku. Menggelitikku hingga aku meringis, lalu mengadukan surat ini pada ibu. Engkau juga pasti akan membuat wajahku merah seperti jambu. Lalu berteriak kepada seisi rumah bahwa aku adalah adik paling romantis dan puitis. Selanjutnya engkau akan merayuku dengan kata-kata manis. Lalu, di sela-selanya engkau akan membisikkanku nasehat hidup yang akan membuat senyum kita menipis.
Tahukah engkau? Kemarin, saat aku singgah di ‘rumahmu’, kulihat sekali lagi epitafmu. Kutatap ukiran itu sambil membersihkan rerumput yang menjalari ‘rumahmu’. Sebelumnya aku juga mengunjungi ‘rumah’ ayah. Satu ‘perumahan’ memudahkan aku dan ibu untuk bertamu. Sayangnya, kini aku lupa. Lagi-lagi lupa dengan bulan dimana engkau dilahirkan. Semoga di bulan selanjutnya, aku dapat mengingat kapan engkau lahir hingga aku bisa menghitung sudah berapa lama engkau pergi meninggalkan aku dan ibu—setelah ayah.
Salam rindu, dari adikmu…
Bangkinang, 03 Agustus 2013 21:30

Salam hangat dan semangat dari DP Anggi
FAM790M Pekanbaru

0 komentar:

:10 :11 :12 :13 :14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39

Posting Komentar