Ilustrasi : izzysabki.wordpress.com |
*
Hujan di hari
ke-tiga Agustus. Asaku hampir terputus. Di Ramadhan yang hanya tinggal
menghitung hari, aku berusaha mengingat kapan pertama kali engkau
melihat dunia. Kapan pertama kali engkau menangis dan tertawa. Engkau
tak suka pesta. Tak suka diberi hadiah. Pada suatu ketika, akhirnya
engkau tertawa lepas di depan kue berlilin yang sudah kutata. Hanya
sekali itu saja. Dan selanjutnya takkan pernah. Senyum yang renyah itu
berderai—gurih, hingga menampakkan gerahammu. Hanya itu senyum dan tawa
yang paling kuingat.
Wajah khawatir
kala itu, adalah ketika
kita balita. Kenangan lama, yang hampir
membuatku hilang nyawa. Namun engkau menyelamatkanku dari kolam ikan
yang menjadi saksi kehidupan kita. Engkau berteriak sambil menarikku.
Bukan tanganku, melainkan kakiku. Posisiku lucu kala itu. Lucu berbalut
ketakutan yang dihantui kehilangan. Engkau sungguh pintar di usia lima
dan aku tiga. Engkau tak memilih menceburkan diri seperti kebanyakan
orang. Jika engkau memilih itu, mungkin kita berdua telah tiada.
Aku mencoba terus
memutar ingatan lama. Ketika aku dan engkau begitu satu dalam cinta.
Engkau selalu bangga memilikiku—kerap memanggilku ke luar rumah hanya
agar teman-teman sebayamu melihat wajahku. Seiring waktu, hanya pigura
semu berwarna abu yang dipajang ibu di ruang tamu. Namun, sejak rumah
kita diperbaiki, entah ke mana pigura itu berlabuh. Album foto ayah yang
berwarna cokelat muda itu, letaknya aku juga tak tahu. Pasti sudah
dingin diselimuti debu.
Entah wajah siapa
yang harus kuingat saat engkau dan ayah kurindu. Bayang abstrak saja,
yang mewakili mata, alis, hidung, bentuk wajah, lesung pipi, barisan
gigi serta tawa—yang kususun dari pecahan puzzle masa lalu. Entah dengan
tangisan yang seperti apa saat aku melihat ibu sendiri di antara
belantara waktu. Aku hanya perempuan biasa, tak hebat seperti ibu. Hanya
doa yang mampu kuseru.
Mungkin, jika
engkau ada di sisiku membaca surat ini, engkau pasti menertawaiku.
Menggelitikku hingga aku meringis, lalu mengadukan surat ini pada ibu.
Engkau juga pasti akan membuat wajahku merah seperti jambu. Lalu
berteriak kepada seisi rumah bahwa aku adalah adik paling romantis dan
puitis. Selanjutnya engkau akan merayuku dengan kata-kata manis. Lalu,
di sela-selanya engkau akan membisikkanku nasehat hidup yang akan
membuat senyum kita menipis.
Tahukah engkau?
Kemarin, saat aku singgah di ‘rumahmu’, kulihat sekali lagi epitafmu.
Kutatap ukiran itu sambil membersihkan rerumput yang menjalari
‘rumahmu’. Sebelumnya aku juga mengunjungi ‘rumah’ ayah. Satu
‘perumahan’ memudahkan aku dan ibu untuk bertamu. Sayangnya, kini aku
lupa. Lagi-lagi lupa dengan bulan dimana engkau dilahirkan. Semoga di
bulan selanjutnya, aku dapat mengingat kapan engkau lahir hingga aku
bisa menghitung sudah berapa lama engkau pergi meninggalkan aku dan
ibu—setelah ayah.
Salam rindu, dari adikmu…
Bangkinang, 03 Agustus 2013 21:30
Salam hangat dan semangat dari DP Anggi
FAM790M Pekanbaru
0 komentar:
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39
Posting Komentar