Ini adalah cerpen yang kupersembahkan untuk hari ibu :)
Selamat membaca
Selamat membaca
Di Balik Sebuah Mimpi
Oleh DP Anggi
FAM790M Pekanbaru
Sinar mentari jatuh
menembus celah dedaunan. Bias sinar itu, kadang tampak merah, jingga, kuning,
nila, ungu, biru, hijau dan memudar. Awan-gemawan beriringan, berkumpul, mengepul.
Sesepoi angin menghembuskan kekeringan, tanah subur berubah debu. Puncak itu
sunyi, tak ada kehidupan. Namun, terdengar suara tapak kaki, sunyi, dan
terdengar lagi.
Terlihat
perempuan tua berlari tergopoh-gopoh. Sesekali ia berhenti, menarik napas
panjang. Ia menyeka peluh dengan tangannya. Ia tak peduli dengan peluh yang
membuat kedua matanya menjadi perih. Ia tetap berlari semampunya, mengelilingi
tempat itu. Tubuhnya terasa semakin dingin, bercampur rasa lelah yang membuat
pandangannya semakin melebur. Langkahnya kian tertatih, menyiratkan tubuh renta
itu tak mampu lagi berlari.
Dengan
sisa tenaga yang ada, ia tetap berporos pada tugu yang berada di puncak bukit
itu. Kakinya mulai terasa kebas, tanpa alas. Ia tersungkur, namun berusaha
bangkit lagi dengan napas tersengal. Wajahnya kian basah, kain putih yang ia
kenakan menjadi lusuh dan ternoda. Ia berteriak
semampu ia bersuara, suara
parau itu menggaung dibawa hembusan angin. Tak lama, suara itu seperti
bersahut-sahutan dipantulkan alam. Berharmoni, kemudian sunyi dan riuh-rendah.
“LabbaikAllah
Humma Labbaik...!”
LabbaikAllah Humma
Labbaik...! Suara paraunya memantul-mantul. Semula hanya rintik hangat yang
mengalir di pipinya. Namun, kian lama telaga air di matanya kian deras.
Perempuan tua itu tetap seperti bumi yang mengelilingi matahari. Suaranya semakin
tidak jelas, melemah bersama hembusan angin.
Berlama-lama waktu berlalu. Perempuan itu tetap berteriak
walau tak terdengar, walau angin tak mampu lagi membantunya menggaungkan suara
itu agar bersahut-sahutan.
“LabbaikAllah Humma Labbaik...! Aku datang
wahai Sang Pengasih....” ucapnya dengan wajah mengiba dan suara yang memelas.
Matahari mulai condong ke barat. Magenta mulai
menampakkan kilau warnanya. Senja, mengantar lelah perempuan itu, hingga ia
terbaring lemah. Kain putih itu, tiba-tiba bergerak, menjalari tubuhnya. Lalu,
membungkus rapi tubuh yang seketika menjadi kaku, ia terjatuh. Kain putih itu
menguncup di kedua ujung tangan, ujung kaki serta ujung kepalanya.
Terdengar gumam-gumam yang pilu. Tanah kering itu retak,
semakin membuka, seperti ingin menelan tubuh perempuan tua itu. Lalu, dalam
bungkusan yang menjalari tubuhnya, ia menggulingkan tubuhnya dengan sisa tenaga
yang ada. Reretak tanah lain terbuka pula, ia menggulingkan lagi tubuhnya,
menjauh dari lubang-lubang yang menganga.
“Ibu! Ibu!” Muha berteriak hingga peluh membasahi.
Istrinya terkejut melihat suaminya berteriak dengan mata masih terpejam. Ingka
mengguncang-guncang tubuh suaminya.
“Bangun, Bang!
Jangan membuatku takut!” ucap Ingka yang melihat suaminya berpeluh dingin,
terus memanggil-manggil ibunya.
“Ibu!!!” Muha tersentak.
“Tenang, Bang. Abang kenapa?”
“Aku...mimpi buruk. Aku memimpikan ibuku! Aku bermimpi,
ibu berlari-lari mengelilingi sebuah tugu di puncak bukit yang entah di mana.
Kemudian, kain putih yang ia kenakan seperti hidup, membungkus tubuhnya dari
ujung hingga ke ujung. Lalu, ada retak-retak tanah gersang yang semakin membuka
lebar, seperti ingin menelan tubuh ibuku,” ucap Muha menahan airmatanya.
“Sabar, Bang.
Besok kita cari lagi ibumu,”
“Kita akan cari ibu ke mana! Kampung ibu sudah habis
tertimbun longsor!” Muha menggeram, rasa sesak dalam dadanya membuatnya hilang
kendali.
***
Waktu terus berlalu. Jarum jam tak henti berputar.
Begitupula tetesan infus yang menembus pembuluh vena Muha. Pria 30 tahun itu
terbaring lemah. Perlahan matanya membuka, ia teringat lagi dengan wajah ibu
dengan air muka yang begitu meneduhkan hati.
Pikiran Muha melayang, terus melayang hingga berlabuh ke
masa lalu. Senyum, dan tawa ibu begitu jelas membekas di ingatannya. Sedangkah
ayah, tak pernah ia lihat batang hidungnya, hanya sebuah foto usang yang selalu
diperlihatkan ibu. Foto yang menghibur Muha ketika ia begitu iri melihat
teman-temannya tumbuh dengan kasih sayang ayah.
Ibu Muha hanya seorang penjahit baju dengan sebuah mesin
jahit yang ia peroleh dari almarhumah nenek Muha. Itulah yang menghidupi mereka
bertahun-tahun. Muha tumbuh menjadi anak yang cerdas sehingga ia mendapatkan beasiswa
untuk bisa sekolah. Hingga saat Muha mendapat beasiswa kuliah di luar kota, ibu
melepas anak semata wayangnya itu dengan berat hati.
Muha
terbayang pula saat ia jatuh sakit. Ibu selalu merawatnya dengan baik. Muha
sangat menyayangi ibunya seperti cinta yang diberikan ibu—sosok insan yang
penuh kelembutan dan kasih sayang. Muha selalu pulang ke kampung untuk
menjenguk ibu seminggu sekali. Itu dilakukannya terus, hingga tak sia usaha
yang ia kelola selama ini.
“Nak,
ibu senang. Ibu bangga kepadamu. Kau sudah sukses sekarang,” ucap ibu suatu
hari ketika melihat anaknya pulang dengan setelan jas hitam dan kameja biru.
“Aku
juga bangga memiliki ibu. Ibu selalu menungguku pulang,” ucap Muha memeluk ibu.
“Ibu,
ikutlah bersamaku ke kota. Kita tinggalkan rumah tua ini,” lanjut Muha.
“Tidak,
Nak. Rumah ini menyimpan banyak kenangan. Kenangan ibu bersama kakek dan
nenekmu. Kenangan ibu bersama ayahmu, ayah yang hilang saat melaut sejak ibu mengandungmu,
Nak” airmata ibu mulai membuncah. Muha membujuknya lagi, dengan penuh
kelembutan.
“Sampai
kapan ibu akan tinggal di sini?”
“Sampai
ibu bisa mewujudkan keinginan ibu,”
“Apa
keinginan ibu?”
“Nak,
ibu ingin sekali umrah. Ibu ingin sekali memenuhi panggilan Sang Maha Pengasih,
Nak.” Itulah ucapan terakhir dari ibu yang sangat diingat Muha sebelum semua
perkampungannya rata dengan tanah.
“Bang, jangan melamun,” ucapan Ingka
memecah lamunan Muha.
“Ingka,
kita cari ibu. Aku tidak ingin terbaring di sini. Sementara, aku tidak tahu
bagaimana nasib ibuku,”
“Besok,
Bang. Abang harus pulih dulu.”
***
Dua
insan itu berjalan melewati setapak jalan yang menghubungkan perkampungan Muha
dengan perbatasan. Muha tak henti berdzikir seiring hembusan nafasnya. Ia mulai
merasa dadanya sesak. Ia terus berjalan, menyusuri jalan kecil itu. Langkahnya
diikuti Ingka, istri yang senantiasa setia di sisinya.
Tampak
nyata olehnya. Perkampungan itu benar-benar lenyap. Hanya puing-puing atap
rumah yang tampak, serta pepohonan yang masih berdiri tegap.
“Ya
Allah, jika ibuku masih hidup, pertemukanlah aku dengannya. Dengan izin-Mu, aku
akan mengumrahkan ibu. Jika memang ibu telah tiada, berikan kepadaku
jenazahnya. Aku ini benar-benar anak yang tidak berbakti. Aku terlalu cepat menyerah
ketika dulu ingin membawa ibu ke rumah. Ya Allah, Yang Maha Pengasih. Kasihi
hamba-Mu ini. Aku ingin ibu....” ucap Muha dengan lutut tertekuk. Ia bersujud
dengan mata yang memerah, menahan perih dan gemuruh di hatinya.
Ingka
turut menangis, merasakan keperihan yang dialami suaminya. Tidak ada anak yang
ingin kehilangan ibunya. Apalagi, jika tidak bisa menemukan ibunya sendiri.
Ingka paham dengan keadaan yang dialami suaminya. Ia turut berdoa bersama
suaminya. Mereka berdua bersujud di tanah yang telah datar itu.
“Ya
Allah....” lanjut Muha. Di bawahnya, pepasiran telah basah. Muha terdiam dengan
mata yang mulai membengkak. Ia rasa airmatanya telah mengering.
“Hari
ini, hari lahirmu. Jangan bersedih, Bang.
Ini salah satu ujian dari-Nya. Allah mengujimu di usiamu yang bertambah,” hibur
istrinya. Ingka mendekat, dan menghapus sisa airmata dipipi suaminya. Tiba-tiba,
sayup terdengar suara parau yang sangat
dikenal Muha.
Muharam....
Seketika Muha menoleh. Matanya berbinar. Mencari-cari darimana suara itu
berasal.
“Ingka,
aku mendengar suara ibu. Ibu! Ibu di mana! Ibu!” teriaknya.
“Abang, tidak ada siapa-siapa di sini. Aku
tidak mendengar suara apapun. Abang
mungkin terlalu lelah. Mari, pulang,” ucap Ingka seraya menarik lembut tangan
Muha. Mereka pulang membawa kekecewaan. Di perjalanan pulang, Muha hanya diam.
Ingka juga terdiam. Ia takut mengusik suaminya. Mereka pun tiba di rumah.
Muha
hanya memandang rumahnya tanpa maju selangkahpun. Matanya mengelilingi bangunan
yang cukup megah itu. Lagi-lagi, ada sesal di hatinya. Seharusnya ibu sudah
bersamanya saat ini di rumah itu. Ingka membuka pintu pagar yang setengah
terbuka, lalu ia menuntun suaminya. Muha hanya tertunduk lesu dengan langkah
lunglai.
Mata
Ingka langsung tertuju pada seseorang yang terlihat seperti ibu Muha, sedang
duduk di teras rumah itu.
“Abang. Itu ibu! Itu ibu!” ucap Ingka tak
percaya. Muha langsung menengadahkan wajah, melihat seorang perempuan tua di
teras rumah dengan pakaian yang sudah lusuh. Ia langsung tersenyum, berlari ke
arah ibu dan langsung memeluk ibunya bak si kecil kehilangan.
“Kau
kenapa, Nak? Kau menangis? Muharam, selamat hari lahir” ucap ibu sambil
mengusap-usap punggung Muha, lalu menepuk-nepuk pelan pundaknya. Muha membisu, ia
melepas rindu, tenggelam dalam pilu yang sempat ia rasakan. Kehangatan ibu,
mengisi rongga-rongga dadanya yang sempat kosong karena begitu takut kehilangan
ibu.
“Ibu
tersesat mencari-cari rumahmu. Seminggu sudah ibu di kota ini, tapi tidak bisa
menemukanmu. Akhirnya, ibu pergi ke kantor polisi. Saat ibu menyebutkan namamu,
mereka langsung mengantar ibu ke sini. Kau pebisnis yang terkenal ya di kota
ini? Anak ibu hebat!” ucap ibu dengan senyum.
“Bu,
ia masih sangat merindukan Ibu,”
“Suamimu
ini seperti anak-anak saja. Oh, ya. Apa benar, kampung ibu tertimbun longsor?
Kemarin, saat di kantor polisi, ibu melihat beritanya. Alhamdulillah, Allah
sayang sama ibu. Allah masih memberikan kesempatan untuk ibu, Dia menggerakkan
hati ibu untuk meninggalkan kampung. Ibu bersyukur, masih bisa melihat kalian
berdua,”
“Ibu.
Bulan depan kita akan pergi umrah bersama. Aku akan persiapkan semuanya. Aku
juga ingin berdoa, agar ibu cepat mendapatkan cucu,” ucap Muha. Ia memeluk lagi
ibunya, tenggelam dalam kasih yang begitu manis, di hari lahirnya.***
0 komentar:
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39
Posting Komentar