Hijab Penanti Cinta
Oleh DP Anggi FAM790M Pku
Cerpen ini menjadi Pemenang I dan dibukukan dengan tema "Penantian Cinta"
Selamat membaca^_^
Aku
tertawa ringan ketika usai membaca sebuah cerpen. Rasanya tidak sedikitpun ada
nilai yang bisa dipetik di dalamnya. Hanya seuntai kisah roman picisan anak remaja.
Seperti biasa, cerita rebut-rebutan kekasih dan kisah cinta di ujung
penderitaan. Aku segera beristighfar. Aku ingat bahwa yang penting adalah niat
menulisnya dulu. Aku tersenyum sambil menyelipkan pensil kecil di telingaku.
Aku berani melepas jilbab karena sekarang sedang berada di dalam kamar.
Aku
masih saja mencari inspirasi untuk melanjutkan karyaku. Kali ini aku tertegun
sejenak. Mencoba menerawang jauh ke alam imajinasi tertinggiku. Aku ingin
sekali menulis tapi tidak sedikitpun ide brilian menghampiri benak. Di umurku
yang masih 19 tahun ini aku masih terlalu mudah untuk kehilangan banyak ide. Aku
coba membuka facebookku. Seseorang
telah menambahkanku sebagai teman. Namanya Andito Nugroho. Sepertinya aku
pernah melihat akun ini sebelumnya. Aku diamkan saja.
Tak
lama setelah itu ia mengirim pesan di inbox
facebookku. Kami pun berkenalan. Ternyata
beliau adalah seorang dokter muda umur 29 tahun. Tapi aku menaruh kekaguman
atas dirinya. Ia sudah masuk tahun ketiga berprofesi sebagai dokter. Mengejutkan
saat ia meminta bertukar riwayat hidup karena ingin mengenalku lebih jauh.
Sebagai seorang muslimah aku berpikir dan memutar otak berkali-kali. Semula aku
menolak untuk itu, akhirnya aku mengirim setelah ia lebih dulu mengirim riwayat
hidup dan fotonya kepadaku.
Aku
terkesima melihat riwayat hidupnya yang penuh dengan prestasi. Aku bergumam,
‘sungguh beruntung perempuan yang menjadi pendamping hidupnya’. Berselang
beberapa saat dengan iseng aku mengatakan bahwa aku titip salam untuk anak
istrinya. Ia tertawa dan mengatakan bahwa ia masih lajang. Lagi-lagi aku
bergumam, ‘apa lagi yang dicari orang ini selain istri di karirnya yang menapak
di usia muda?’. Dokter muda itu berkata bahwa belum ada perempuan yang mau
menjadi istrinya.
"Dan perempuan baik adalah
untuk laki-laki baik dan laki-laki baik adalah untuk perempuan baik pula"
(QS. an-Nur : 26). Mendengar aku berbicara seperti itu ia langsung menghujaniku
dengan banyak pujian. Aku tidak tahu apa yang ia pikirkan. Yang jelas ia
mengatakan bahwa ia menaruh kagum karena aku seorang gadis remaja yang dewasa.
Aku membalas kalimatnya, ‘Usia bukanlah jaminan bagi kedewasaan. Semakin banyak
masalah yang kau selesaikan dengan bijak semakin tinggi tingkat kedewasaanmu’.
Hari-hari
ku lalui dengan tenang. Sejak mengenal dokter muda itu inspirasi menulisku
mengalir deras. Namun sempat padam karena beberapa waktu ku lihat ia tak menampakkan
batang hidungnya di facebook. Aku
merasa kesepian dan merindu. Namun kerinduanku tidaklah meletup-letup seperti
kisah-kisah cinta remaja lainnya. Aku hanya menulis kerinduan itu berupa
surat-surat yang ku peruntukkan kepadanya. Aku bingung, mengapa aku seperti ini
sejak mengenalnya. Aku dan dia adalah jauh. Jauh dari umur, pengalaman, jarak
dan kedewasaan. Mustahil rasanya jika perasaanku yang tumbuh berkembang dengan
sendirinya ini menjadi sebuah kenyataan.
Kali
ini aku menulis surat kedua setelah surat pertama yang berisi tentang
perkenalan singkat aku dan dia. Pada surat kedua ini, aku bertanya bagaimana
kabarnya, apa yang sedang ia lakukan dan bercerita sedikit tentang curahan hati
ku hari ini kepadanya. Di sela surat itu terjatuh setetes air mata yang tidak
sengaja tertumpah. Aku juga tidak tahu mengapa haru menghampiriku. Aku tetap
menulis, menulis dan menulis.
Tiga
hari setelah berkenalan dengannya tak juga ku dapati kabarnya. Aku membuka facebooknya pada hari itu. Ternyata ia
sedang sibuk sekali dengan pekerjaannya. Tak lama kemudian dia online. Ia mengucap salam dan menanyakan
kabarku. Senang hatiku tak terhingga karenanya. Aku mengatakan bahwa aku sedang
kesepian. Dengan santai ia memberikan nomor handphonenya
kepadaku, padahal sebelumnya aku sudah menyimpan nomornya yang aku dapat dari
riwayat hidupnya. Ini seperti sebuah celah kesengajaan yang ia berikan untukku.
Tapi—entahlah, hanya Allah yang tahu.
Sore
itu aku memberanikan diri untuk mengirim pesan singkat kepadanya. Aku pasrah
saja jika ia tidak membalas karena ia adalah orang yang sibuk. Malam hari,
ketika aku berjalan di taman dan duduk dibawah sinar cahaya temaram rembulan
sebuah pesan masuk ke inbox. Aku
membukanya, mataku melotot. Aku tidak percaya bahwa ia sudi untuk membalas
pesanku. Aku berbisik didalam hati, ‘Ya Allah, mengapa orang ini
memperdulikanku? Padahal ia adalah orang sibuk yang mungkin tak cukup 24 jam
baginya’.
***
Siang
itu aku duduk di ayunan di depan rumahku. Tiada satu orang pun menemaniku
karena ayah, ibu dan adik sedang pergi berlibur ke luar kota. Aku adalah remaja
yang kurang menyukai liburan dan keramaian. Aku lebih memilih untuk menjaga
rumah dan menulis sebanyak-banyaknya. Itulah hobiku. Hobi yang tidak di
wariskan oleh ayah, ibu, kakek, nenek, atau pun orang terdahulu. Kata ibu,
hobiku ini lahiriah sudah ada sejak aku kecil, dimulai dengan suka
menulis-nulis di dinding rumah. Tidak heran jika aku meminta lebih memilih di
rumah daripada berlibur untuk dua hari saja. Aku ingin sekali menjadi penulis,
karena itulah aku tidak melanjutkan ke perguruan tinggi.
Hembusan
angin meniup jilbabku. Angin kali ini membawa hawa panas karena hujan tak
kunjung turun beberapa minggu terakhir. Aku memegang secarik kertas dan pensil.
‘Beep... Beep... Beep’, handphone ku berdering. Tidak seperti biasanya ada
orang yang menelfonku karena nomor handphone
ini hanya beberapa orang saja yang tahu. Aku tidak berharap bahwa itu telefon
dari Mas Andit. Seperti itulah aku memanggilnya. Aku terkejut sekali. Aku tidak
terbiasa menerima telefon dari lelaki yang bukan keluargaku. Aku sengaja tidak
menjawab telefon dan mematikan nada deringnya. Aku sangatlah pemalu sebagai
seorang remaja. Tidak seperti remaja kabanyakan yang jika ditelefon oleh sosok
yang seperti Mas Andit—pasti akan menjawabnya dengan senang hati dan penuh
percaya diri.
Aku
bertambah bingung bercampur heran ketika ia menelefonku untuk yang kedua
kalinya. Apa yang sebenarnya terjadi? Tidak biasanya Mas Andit menelefonku.
Setelah panggilan itu terhenti, aku mengirim pesan singkat bahwa aku adalah
orang yang tidak biasa menerima telefon dari seorang lelaki. Ia membalas pesan
singkatku dan mengatakan bahwa ia ingin membicarakan sesuatu yang penting.
Namun, aku menegaskan alasanku sekali lagi kepadanya. Setelah itu tak ada lagi
jawaban darinya.
Malam
hari, ketika senja sudah beranjak mendapati malam aku merasa tidak enak hati.
Aku mengirim pesan singkat kepadanya dan menanyakan apakah ia marah dengan
kejadian siang itu. Semenit setelah itu ia membalas, ia tidak marah sama
sekali. Aku bertambah kagum saja.
“Mas,
sebenarnya apa yang hendak mas bicarakan sedari tadi siang?”, lanjutku.
“Kapan-kapan
saja dik, mas menunggu waktu yang tepat. Ini tentang ‘sesuatu’”, balasnya. Aku
hanya mengatakan aku akan bersabar menunggu tentang ‘sesuatu’ itu.
Malam
sudah mulai larut. Aku segera memejamkan mata. Di sepertiga malam-Nya aku
terbangun, aku membaca sebuah pesan yang masuk. Ternyata dari Mas Andit. Ia berpesan
bahwa aku harus menjaga diri, kesehatan dan tidak lupa untuk salat. Aku
terdiam. Air mataku segera saja tumpah. Aku tidak mengerti apa maksud dari
ucapannya. Aku bergelimang risau dan takut kehilangan.
Aku
segera berwudhu dan bertahajud kepada Yang Maha Menguasai hati. Aku mengadu
kepada-Nya tentang segala yang aku rasakan. Tak terasa adzan subuh berkumandang
sayup. Aku berdzikir dan melaksanakan salat subuh. Selepas itu aku membaca
ayat-ayat cinta-Nya. Namun, air mataku belum juga kering. Aku tertidur hingga
mendengar suara pintu digedor-gedor. Aku terperanjat dan buru-buru berlari ke
pintu depan. Ternyata ayah, ibu dan adikku telah pulang dari berlibur.
“Assalamualaikum”,
ucap mereka serentak. Aku menyalami ayah dan ibu. Sementara adik menyalamiku
setelah aku menyalami ayah dan ibu.
“Kenapa
kau nak? Matamu sembab seperti menangis semalam suntuk”, ucap ibu. Ayah dan
adik sudah duluan masuk ke rumah karena merasa lelah.
“Tidak
bu, aku tidak apa-apa. Hanya rindu kepada ayah, ibu dan adik”, ucapku dusta.
Ibu hanya tersenyum kecut seolah tak percaya. Ibu sudah tahu bagaimana watakku.
Beberapa
hari berlalu, Mas Andit juga tak ada kabarnya. Aku yang biasanya manja kepada
ayah dan ibu menjadi pendiam dan suka mengurung diri di kamar. Ibu masuk ke
kamarku dan melihatku berlinang air mata. Pelukan hangat ibu membuatku sedikit
tenang. Aku menceritakan semuanya kepada ibu. Tentang perkenalan di dunia maya
dan tentang perasaanku yang benar-benar tidak bisa ku kuasai.
“Tersenyumlah
nak. Awan hitam selalu menyimpan pelangi. Begitupun Sang Penggenggam nyawa—Dia
selalu punya rahasia dan bijaksana untuk membuat dewasa makhluk-Nya. Cinta suci
sedang menunggumu. Tetapi engkau harus sabar menantikan. Cinta itu akan
menjemputmu di masa yang telah Dia rencanakan.”, ucap ibu kepadaku. Aku hanya
mengangguk pelan.
Seperti
malam-malam sebelumnya, aku tetap bermunajad kepada Sang Ilahi. Aku masih
berdo’a dengan hal yang serupa, meminta-Nya untuk menjaga dan melindungi Mas
Andit dimana pun ia berada. Pikiranku selalu tergugu karena pesan terakhirnya.
Aku tidak mengerti dengan perasaanku sendiri. Entah perasaan apa yang tumbuh
dan berkembang di hatiku—pernah bertatap muka dengannya pun tidak. Baru kali
ini aku seperti ini.
Aku
menguatkan hati—tak henti memuji asma-Nya seiring hembusan nafas, detak jantung
dan denyutan urat nadiku. Jilbab yang semula hanya sekadarnya saja menutupi
hijabku, ku ganti dengan jilbab yang lebih panjang dan lebar. Aku benar-benar
ingin mencurahkan cintaku hanya kepada-Nya tanpa memikirkan makhluk-Nya lagi. Aku
pergi keluar untuk menghirup udara pagi dan menyapu halaman. Adikku yang
melihatku yang telah berubah mengatakan pakaianku seperti dodol yang dibungkus
rapat. Aku memakai jilbab lebar berwarna biru muda dan gamis kala itu. Adikku
tersenyum ringan.
Dari
jauh aku mendengar suara mesin mobil yang ramai menuju rumahku. Aku tercengang
karena mobil-mobil itu berhenti di halaman rumah. Aku masuk ke dalam rumah dan
memanggil ayah dan ibuku, sedangkan adikku tetap berada di halaman depan. Aku
melihat seorang lelaki muda keluar dari mobil dan membawa dua orang tua serta
beberapa kerabatnya. Aku menundukkan pandangan ketika lelaki itu melirik ke
arahku. Ibu dan ayah menjamu mereka serta membawa mereka duduk di ruang tamu.
Ayah
menanyakan maksud kedatangan keluarga itu, sementara aku dan ibu menyiapkan
minuman di belakang. Selang beberapa waktu, adikku menyusul kami berdua ke
belakang dan mengatakan bahwa lelaki itu datang untuk melamarku. Aku beku.
Diam-diam ku lihat lelaki itu dari celah pintu dapur. Ternyata, ia adalah Mas
Andit. Aku mengharu biru. Tiada yang mustahil jika Allah sudah berkehendak. Allah
menghadiahkanku pernikahan di usia muda atas penantianku. Janji Allah adalah
tepat dan benar adanya. "Dan
perempuan baik adalah untuk laki-laki baik dan laki-laki baik adalah untuk
perempuan baik pula" (QS. an-Nur : 26).***
0 komentar:
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39
Posting Komentar