Sabtu, 13 Oktober 2012

Emak, Keringatmu Telah Terbayar

Emak, Keringatmu Telah Terbayar

Oleh DP Anggi FAM790M Pku
Cerpen ini pernah diikutsertakan di dalam event "Pijar Heroik" dan dibukukan sebagai kisah nyata inspiratif bertema "Abadikan kasih sayang Bunda"
Selamat Membaca ^_^

Angin menghembuskan nafas segarnya di pagi buta. Embun perlahan menjelma menjadi butiran air di dedaunan, menjadikan udara semakin lembab. Langit masih begitu pekat dengan bulan temaram. Emak telah terjaga dari tidurnya sebelum adzan subuh berkumandang sayup. Di sanalah, rumah di mana kami sekeluarga menjalani hidup yang keras. Kami hidup di antara kolam-kolam ikan milik saudagar di wilayah tersebut.
Hidup semakin keras saja setelah ayah meninggal dunia. Padahal ketika itu kami masih berumur 4 sampai 14 tahun. Emak banting tulang dengan berjualan di samping kantor BSPPM Bangkinang. Emak menjual lontong, nasi goreng, mie goreng, dan lain sebagainya. Setiap hari emak menempuh perjalanan lebih kurang 4 Km dari gubuk tua kami. Tiada rumah, tempat kami bernaung lebih tepat disebut sebagai gubuk tua. Rumah kami terbuat dari kayu yang beatapkan seng berkarat. Gubuk itu berada di atas sebuah kolam ikan milik tetangga kami.
Emak adalah wanita terhebat yang pernah ku miliki. Emak selalu bangun pagi-pagi sekali untuk memasak dan menyiapkan masakan yang akan ia jual mulai dari pukul 07.00 pagi sampai pukul 17.00 sore. Lalu,
emak pergi ke pasar sore harinya. Ketika malam mulai menyapa, emak memasak lagi untuk jualannya esok hari. Begitulah setiap hari aktivitas emak. Tiada istirahat dan goyang-goyang kaki seperti kebanyakan ibu rumah tangga.
Hidup begitu sulit. Aku, Bang Angga, Kak Ria, Kak Ice dan Kak Novi hanyalah anak emak yang bisa membantu sedikit pekerjaan emak. Terlebih aku, aku masih berusia 4 tahun ketika itu. Walaupun hidup begitu sulit dan rezeki yang didapat emak tidak seberapa, emak tetap menyekolahkan anak-anaknya. Namun, kakakku yang pertama, Kak Ria, tidak ingin bersekolah. Ia ingin membantu emak karena merasa memiliki rasa tanggung jawab besar kepada adik-adiknya.
Emak yang tidak sanggup menyekolahkan anaknya lagi, mengirim kakak ketigaku Kak Novi ke rumah kakek dan nenek. Kakek dan nenek sangat menyayanginya. Merekalah yang menyekolahkan Kak Novi di sekolah yang terbilang elit saat itu. Sementara Bang Angga di sekolahkan emak di desa yang jaraknya sekitar 5 Km dari kantin tempat emak berjualan. Entah dengan cara apa ketika itu abangku satu-satunya sampai ke sekolahnya.
Kak Ice, ia bersekolah di sebuah SMK yang berjarak sekitar 2 Km dari kantin emak. Kak Ice adalah seorang gadis yang kelelaki-lakian. Rambutnya ia potong seperti lelaki, pakaian dan segalanya seperti seorang lelaki. Ia bekerja di tempat lain sambil bersekolah. Ia tidak ingin merepotkan emak, hasil bekerjanya ia bayarkan untuk uang sekolah. Namun, ia lebih sering membuat keributan di sekolah. Emak tidak pernah tahu hal itu, karena ia sering menyewa orang tua di pasar untuk menebus kesalahannya.
Aku masih ingat, banyak kejadian-kejadian yang hingga sekarang masih membayang di ingatanku. Tentang kehidupan kami yang memaksa kami pindah ke rumah kakek dan nenek setelah nenek meninggal. Emak sangat menyayangi orang tuanya. Tak lama kami tinggal di sana, kami memutuskan untuk pindah ke desa tempat emak menyekolahkan Bang Angga. Kami pindah karena ada perselisihan antara adik emak dan emak. Emak lebih memilih untuk mengalah.
Ketika aku kelas III SD, emak membeli sebuah sepeda motor dengan hasil keringatnya walaupun tidak di beli secara tunai. Dengan motor itulah emak pulang pergi mencari nafkah. Rumah yang di beli emak di desa per bulannya di bayar dengan harga Rp. 47.300,-. Emak mencicilnya selama 15 tahun. Harga per bulan rumah itu tidak pernah naik dari bulan ke tahun. Pun, sampai tahun 2011 harga per bulannya tetap sama.
Tahun kedua tinggal di desa itu, lagi-lagi kami mengalami kehilangan. Bang Angga telah di panggil Ilahi di usianya yang baru saja masuk angka 12 tahun. Aku menangis hingga tiada satu air mata pun yang berani menitik di kedua pipiku. Kak Ria adalah orang yang sangat menyayangi Bang Angga. Sejak kepergian abangku itu, Kak Ria sering jatuh pingsan. Ini terjadi karena pada sore jum’at itu, Kak Ria tidak berhasil menahan Bang Angga di rumah hanya untuk sekedar mandi sore.
Emak tetap tegar menjalani hidup yang mulai di rasanya hambar. Kepergian suami dan anak tak membuatnya gentar. Perlahan ia bangkit demi memberi makan anak-anaknya. Kak Ice yang menyaksikan ketegaran emak, ia tak mau kalah. Ia mencari pekerjaan yang memang semua berawal dari nol. Pekerjaan dan janjinya untuk membuatkan emak rumah yang bagus membuatnya berhasil menjadi seorang kontraktor dan bersuamikan seorang jaksa. Kak Novi yang juga berjuang menjadi seorang guru dan PNS pun bersuamikan seorang polisi. Begitu pun Kak Ria, ia bersuamikan seorang kontraktor pula.
Mungkin, kisah hidup kami memang seperti dunia dongeng. Tiada yang percaya jika telah melihat hidup kami yang serba berkecukupan saat ini.  Semua berkat pertolongan Allah yang telah memberi emak ketegaran dan optimisme dalam menjalani hidup. Keinginan emak memiliki rumah besar yang seperti istana telah terpenuhi oleh Kak Ice. Semua anak emak telah berhasil, kecuali aku. Aku sedang menempuh pendidikan S1 di salah satu perguruan tinggi negeri di Pekanbaru. Emak ingin aku cepat menyelesaikan kuliah, bekerja dan bersuami. Itulah yang akan membuat hidup emak sedikit tenang dan tak terlalu memikirkan aku, si bungsu.***

0 komentar:

:10 :11 :12 :13 :14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39

Posting Komentar