Minggu, 07 Oktober 2012

Dilema Dakwah

Oleh DP Anggi FAM790M Pekanbaru
Cerpen ini merebut juara III lomba cerpen dalam event ULTAH FS NURI UIN SUSKA yang mengadakan Talkshow dengan Mengundang Bunda Pipiet Senja tanggal 07 Oktober 2012.
Selamat Membaca:)

Dilema Dakwah
Malam menyapa jiwa-jiwa lelah yang isyarat harus mengistirahatkan raga. Awan pekat menutupi cahaya temaram bulan. Malam ini aku tidak bisa tidur. Sejak pulang dari perkuliahan siang tadi pikiranku selalu tertambat pada suatu hal. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana aku di hadapan mahasiswa-mahasiswa baru itu. Aku masih sulit memposisikan diriku. Mataku membayang jauh sambil mencari-cari celah dari kegelisahan.
            Dua jam telah berlalu. Aku juga tak dapat terlelap dalam buaian mimpi. Domba-domba telah ratusan kuhitung jari. Bohlam kamar sudah kupadamkan. Musik klasik juga sudah kudengar. Sudah puluhan lagu nasyid kuputar. Namun juga tak bisa kujemput mimpi itu. Aku benar-benar tidak dapat tidur semenit pun.
            Tak terasa, malam berganti fajar dan mendapati subuh. Kumandang adzan terdengar sayup.
Dengan kepala yang sedikit pusing, aku berwudhu. Setelah salat, aku mengintip di balik tirai jendela. Langit masih saja pekat. Aku kembali berbaring sambil menghafal sebuah ayat yang merupakan targetku untuk bulan ini. Entah apa yang telah berlalu, mataku tertusuk sinar terik matahari. Aku bangun dan melihat ke arah jarum jam. Pukul 11.00 wib. Sambil mengingat-ingat sesuatu, akhirnya aku bernafas lega. Alhamdulillah, hari ini aku tidak ada jadwal perkuliahan.
            Aku masih ingat masa itu. Ketika pertama kali aku memakai jilbab saat kelas III SD. Saat itu aku adalah seorang anak perempuan yang kelelaki-lakian. Rambutku tidak pernah lebih dari sebahu. Aku selalu bermain bersama teman lelaki sebayaku. Bermain kejar-kejaran polisi, bermain sepak bola dan berhasil membobol gawang lawan, itulah yang kusenangi.
            Jilbabku kala itu mudah sekali untuk lepas, kupasang lagi ketika guru memulai pelajaran. Seperti itulah aku selama menjalani pendidikan 12 tahun hingga aku lolos seleksi masuk perguruan tinggi negeri melalui jalur undangan. Aku sangat bahagia diterima pada salah satu fakultas yang sangat bergengsi.
            Masih segar dalam ingatanku, pertama kali menginjakkan kaki  di FISIP. Pemandangan di sekelilingku adalah lelaki. Aku tertawa geli ketika mengingat kampusku masih jauh dari tanda-tanda kiamat. Buktinya, mahasiswa laki-laki lebih banyak dibanding mahasiswa perempuan. Bahkan, perempuan di sini ada yang seperti lelaki. Aku cukup sulit membedakannya.
            Pemandangan di kampus juga tidak luput dari perempuan-perempuan yang berpakaian ketat, namun ada yang terlihat begitu anggun. Saat aku di samping mereka yang sedang bercerita, aku sangat bingung karena panggilan mereka semuanya sama. Semuanya saling memanggil ‘Ukhti’. Dalam benakku, apakah mereka semua bernama ukhti? Atau mereka kembar tapi beda? Penasaranku membuatku memberanikan diri bertanya kepada mereka.
            Sejak saat itulah, aku mulai dekat dengan perempuan-perempuan anggun ini. Pakaian mereka longgar, cara berbicaranya lembut namun tegas. Jilbabnya dua lapis dan mereka selalu cerdas memadukan jilbab lebar itu dengan baju yang mereka pakai. Aku senang sekali menatap mereka berlama-lama. Dalam hati aku berkeinginan seperti mereka juga.
            “Assalamualaikum, kak. Maaf saya boleh tanya?” ucapku kepada seorang perempuan anggun itu.
            “Waalaikumussalam, dik. Tentu, silahkan”
            “Kakak beli baju sama jilbab ini di mana? Saya ingin seperti kakak, cantik dan anggun”
            “Oh, ini. Besok kita pergi ke tempat kakak biasa beli baju, ya?  Sebaiknya, luruskan dulu niat adik. Niatkan karena Allah dan untuk kebaikan kita di akhirat kelak. Jadilah akhwat sejati. Nanti, jika berkenan adik bisa bergabung bersama kelompok halaqah” ucapnya sambil melempar senyum manis. Aku menjadi bingung. Ada ukhti, ada akhwat, ada halaqah, banyak istilah yang baru kudengar.
            Sekarang, aku sudah mengerti. Ukhti itu adalah panggilan untuk perempuan muslimah, akhwat adalah perempuan muslimah, dan halaqah adalah proses kegiatan tarbiyah yang terdiri dari beberapa orang. Hijab yang melindungiku membawa kedamaian di hati. Namun, saat pertama kali berhijab ada pertentangan antara aku dan keluarga.
            Semuanya memandangiku dengan tatapan yang tak lepas. Aku hanya terdiam di sudut ruangan. Keluargaku tidak suka melihatku seperti dodol yang dibungkus rapi. Bahkan, kakakku membelikanku baju-baju yang mengikuti model sekarang yang harganya terbilang mahal. Aku tidak mau memakainya,berusaha menolak dengan cara yang halus. Untuk menghargai pemberian kakakku, aku menyimpan baju-baju itu di lemari tanpa ingin memakainya walau hanya sekali.
***
            “Ukhti Ufairah, mau apa tidak menjadi pementor?” tanya seorang akhwat kepadaku.
            “Ana, ragu ukh. Ana rasanya masih kurang pemahaman agama. Ana takut salah-salah menyampaikan nanti. Ana takut tidak bisa menjadi contoh yang baik”
            “Tidak usah takut, ukhti. Kita sama-sama belajar. Niatkan karena Allah. Jika semua akhwat berpikir seperti ukhti, siapa lagi yang akan berdakwah? Anggap saja sesuatu tidak akan berjalan tanpa kehadiran ukhti, itu akan memacu semangat kita dalam berdakwah”
            “Tapi, ana benar-benar merasa takut ukhti. Ukhti tahu, ana baru berhijab 7 bulan yang lalu. Dan itu, mendapat pertentangan dari keluarga ana. Rasanya tidak mungkin ana menjadi pementor untuk adik-adik kita”
            “Ana tidak bisa memaksa ukhti. Dalam mengambil keputusan, jangan hanya mengandalkan intuisi ukh. Lambat laun, keluarga ukhti pasti akan menerima ukhti apa adanya. Nanti, kita ada semacam TFP (Training For Pementor). Jangan mundur sebelum mencoba ukh. Ana yakin ukhti bisa. Hamasah!
            Jazakillah, ukhti. Ana akan berusaha semampu ana. Ana tidak tahu harus mengucapkan apa. Dari kemarin malam ana gelisah memikirkan ini. Hamasah, semangat!” ucapku sambil menjabat tangannya. Azizah hanya tersenyum sembari berlalu pergi dengan ucapan salam.
Walaupun umurku di jalan dakwah barulah seumur jagung, namun aku tidak ingin menjadi salah satu kader yang gugur. Aku yakin, pertentangan dari keluarga dan kerabat akan membuatku semakin kuat. Aku juga yakin mereka akan menerimaku apa adanya. Aku sudah menjadi bagian dari jalan ini, dan aku harus mengikutinya hingga ada batas dimana aku tidak berada di dunia ini lagi.***

0 komentar:

:10 :11 :12 :13 :14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39

Posting Komentar