Minggu, 14 Oktober 2012

Ais


Ais

Oleh DP Anggi FAM790M Pku
Cerpen Ini pernah diikutsetakan dalam lomba cerpen tingkat Nasional
Selamat Membaca ^_^ 
“Mengapa kau termenung nak?"
“Tidak mak, hanya saja aku heran kepada diriku ini. Aku tidak pernah berkesempatan memenangkan lomba apapun termasuk menulis.”
“Kau sedih? Apa yang kau harapkan dari kemenanganmu nak?” tanya emak lagi.
“Entahlah mak, sedih itu ada, tapi aku ingin sekali menang mak, ingin membuat emak bangga tentunya. Aku ingin memberikan hal terindah buat emak meski pun itu mimpi. Aku kecewa kepada diriku mak, tiada yang bisa emak banggakan dari aku”, ucapku sambil menghela nafas. Emak hanya tersenyum dan memelukku. Melihat emak, aku heran. Setiap kali aku mengeluh emak selalu saja melempar senyumnya yang meneduhkan hati itu.
  Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku berangkat ke sekolah. Emak yang sejak pagi sudah lebih dahulu bangun daripada aku juga sudah meninggalkan rumah pagi itu. Seperti biasa,
emak menjual sayur di pasar yang jaraknya cukup jauh dari tempat tinggal kami. Sedangkan bapak, bapak telah pergi jauh bersama istri barunya meninggalkan aku dan emak. Aku tahu, emak pasti lebih sedih daripada yang aku rasakan.
Berjalan pagi-pagi membuat badanku bugar. Tapi, tubuh yang bongsor ini membuatku letih berjalan. Langkahku gontai tak bertenaga. Menyusuri jalan setapak itu membuatku cukup lelah. Ya, inilah aku. Gadis bongsor yang ditinggal bapaknya. Temanku tak banyak karena akupun seorang yang pendiam di sekolah. Prestasiku juga biasa-biasa saja. Apa lagi yang bisa dibanggakan emak dariku?
Sesampainya di sekolah tak ada seorang pun yang terlihat, aku selalu menjadi yang pertama. Aku memandang ke arah sepatuku. Sudah robek. Kaus kaki putihku sudah berubah menjadi kehitaman terkintip sedikit dari luar. Lihatlah tasku yang berwarna hijau ini, penuh bekas luka jahitan. Emak rajin sekali menjahit tas ini ketika sudah hampir putus setelah ku pakai bertahun-tahun. Emak belum punya uang menggantinya. Seragam sekolah pun sudah kumal. Tak lagi terlihat putih, mungkin abu-abu.
 Hari ini mungkin akan menjadi hari yang membosankan. Tak ada lagi pelajaran yang akan dipikirkan. Ujian semester telah usai. Hanya bermain-main ke sekolah sambil menunggu raport kenaikan kelas. Aku akan menjadi siswi kelas 2 SMA. Saat menelusuri lorong kelas, aku menemukan secarik kertas. Disana tertulis bahwa sekolah akan mengadakan lomba menulis cerpen tingkat sekolah. Hadiahnya menggiurkan, sejumlah uang dan piagam. Inilah kesempatanku membuat emak bangga.
***
“Assalamualaikum mak, aku pulang” ucapku sambil mencium tangan emak.
“Wah, anak emak sudah pulang. Emak sudah buatkan masakan kesukaan kau nak, makanlah”, ucap emak mengelus kepalaku, perlakuan emak seolah tak membuat usiaku bertambah. Baginya, aku masih anak kecil yang harus selalu ada di pangkuannya.
 “Emak tak makan? Sini mak, makan sama Ais” ucapku. Namun emak menggeleng sambil tersenyum. Emak bilang emak telah selesai makan sebelum aku sampai ke rumah. Bukan rumah, lebih tepatnya seperti gubuk tua. Gubuk peninggalan lelaki yang sudah menelantarkan aku dan emak.
Setelah makan aku masuk ke kamar. Hanya ada satu kamar di rumah ini. Tempat aku dan emak beristirahat ketika lelah sudah menyemat di jiwa. Kali ini aku benar-benar ingin menulis cerpen dengan sepenuh hati. Ingin membuat senyum emak merekah. Sedang aku asik menulis dan berimajinasi mencari inspirasi, tiba-tiba emak masuk ke kamar. Emak masuk dengan wajah yang tegang. Aku hanya diam, membiarkan emak tenang dengan sendirinya.
“Emak kenapa?” Ucapku setengah berbisik. Emak hanya menggeleng tanpa seucap kata. Aku mengintip keluar. Melihat tiga orang yang gemuk dan tinggi memakai baju hitam seperti sedang mencari-cari emak. Aku tak kalah takut. Aku membiarkan penaku menganggur. Aku memeluk emak. Tak lama kemudian aku lihat tiga orang itu telah pergi. Aku melepas peluk dari tubuh emak. Aku lihat lekat wajah emak, keringat sebesar biji jagung menetes di dahi emak.
“Mak, mereka itu siapa?” kataku sambil membawa emak duduk.
“Mereka itu, orang-orang yang mencari bapakmu nak. Bapakmu meninggalkan kita bersama hutang-hutangnya. Emak tidak sanggup mengganti uang mereka nak” ucap emak tanpa ekspresi. Aku terdiam. Sebegitu kejamkah bapak kepada kami? Kepada emak? Mengapa bapak tega sekali meninggalkan emak dengan hutang-hutang yang banyak? Emak hanya penjual sayur, jika tidak mendapat beasiswa dari kelurahan aku tidak akan bisa sekolah seperti sekarang ini.
Aku heran kepada bapak. Padahal, dulu bapak sangat mencintai kami berdua. Namun bapak berubah sejak pulang dari kota. Akhirnya aku dan emak tahu, bapak telah menemukan wanita lain disana. Begitukah hebatnya cinta? Mengubah pecinta menjadi pembenci karena orang ketiga? Dahsyat sekali, ia mampu mengubah uang kiriman bapak menjadi hutang-hutang yang tiada bisa terbayar hingga sekarang. Emak sungguh wanita mulia yang begitu tegar.
Setelah ketegangan dan kegeramanku kepada bapak berangsur memudar, aku kembali melanjutkan tulisanku. Aku menulis dengan penuh perasaan. Aku pernah mendengar, ‘menulislah dengan ikhlas dan penuh penyampaian pesan’. Aku mencoba melakukannya. Jemariku pun menari-nari indah. Tanpa sadar, aku tertidur dan tenggelam dalam lautan fiksi. Mencoba menggapai mimpi indah. Setidaknya mimpi mengobati realita yang sekarang sedang merajaiku.
***
Suara gaduh membangunkanku di suatu malam. Aku terkejut, segera bangun dan berdiri. Aku berjalan keluar kamar dengan sempoyongan. Samar-samar aku mendengar suara lantang laki-laki dari luar rumah. Aku melihat emak menangis tersedu-sedu. Ternyata itu ulah tiga laki-laki yang datang tadi siang. Aku melihat emak mendekati ketiga lelaki itu untuk memohon, namun emak ditendangnya hingga emak tersungkur. Aku geram sekali melihatnya. Dengan langkah berani aku menuju mereka.
“Mengapa kalian menyakiti emak! Tidakkah kalian sadar ini semua ulah bapak! Jangan sakiti emakku!”, ucapku lantang sambil menahan tangis dan melindungi emak. Suaraku yang tak kalah lantang menarik perhatian beberapa warga. Tanpa pikir panjang ketiga lelaki itu lari terbirit. Aku membawa emak masuk dan mengunci pintu. Emak masih terpenjara dalam ketakutannya. Aku berusaha menguatkan hati. Tak pernah aku melihat emak seperti ini sebelumnya. Aku begitu mencintai emak seperti aku mencintai-Nya. Aku merebahkan emak ke kasur dan menyelimutinya. Menjaga emak hingga ikut terlelap bersamanya.
Keesokan harinya, aku membawa hasil olahan hati dan pikiranku ke sekolah. Aku ke sekolah hanya untuk mengantarkan cerpen ini karena ingin segera pulang dan menjaga emak. Besar harapanku untuk keluar sebagai pemenang, membawa hadiah uang dan piagam. Membayar hutang lelaki tak beradab itu dan membungkam mulut tiga lelaki yang menyakiti emak. Setelah selesai mengantarkan karya itu, aku pulang segera.
Sesampainya aku di rumah aku tidak melihat emak. Barangkali emak masih menjual sayur di pasar. Aku tidak tahu pasti kapan emak pulang. Aku menunggu emak begitu lama. Sembari menunggu emak, aku mengukir tinta di atas kertas. Menulis beberapa kata. Tak lama kemudian emak datang. Emak tersenyum manis sekali hingga membuat hatiku teduh. Aku membantu emak membawa belanjaan ke dalam.
Beberapa hari ini tak lagi ku lihat tiga lelaki itu mendatangi rumah kami. Barangkali mereka takut dihakimi warga. Seminggu berlalu. Aku ingat hari ini pengumuman lomba akan dilaksanakan bersamaan dengan pengumuman juara kelas dan pembagian rapor. Aku begitu pesimis. Langkahku gontai tanpa semangat. Lagi-lagi, emak menyemangatiku. Namun, emak tidak bisa hadir karena harus berjualan sayur di pasar.
Aku berjalan penuh harap. Menelusuri ruang kelas dan berjalan menuju ruangan guru. Disanalah akan diumumkan semua bentuk prestasi. Aku menarik nafas dan menghembuskannya pelan. Tanganku terasa dingin dan keringatku bercucuran. Aku tidak sabar lagi dengan hasil lomba cerpen itu. Aku tidak sabar melihat wajah emak yang bangga memiliki anak sepertiku. Aku ingin melihat senyum emak merekah, bukan senyum yang menelan empedu dan erosikan hati.
Guru mengumumkan juara kelas terlebih dahulu. Tentu namaku takkan disebut karena aku bukan siswi yang pintar. Aku tahu, karena nilai-nilai ulanganku hanya pas-pasan. Tak lama aku menunggu, diumumkanlah pemenang cerpen yang dimulai dari pemenang cerpen ketiga. Begitulah seterusnya pengumuman itu berjalan kepada pemenang cerpen yang kedua. Aku sudah tidak ada harapan lagi.
Aku berjalan perlahan meninggalkan ruangan itu. Keringat yang bercucuran tadi berubah menjadi air mata yang tertahan. Langkahku terhenti sejenak untuk mendengarkan siapa sang jawara cerpen. Hening. Tiba-tiba terdengar sebuah teriakan kemenangan. ‘Aisyah Rinjani!’. Nama itu membuatku terhenyak setengah tak percaya. Itu namaku. Aku tertegun sejenak. Melangkahkan kaki kemenangan ke arah panggung para pemenang.
Aku berlari ke rumah membawa hadiah hasil lomba untuk emak. Sejumlah uang dan sebuah piagam. Langkah ku terhenti saat melihat ketiga pria itu lagi. Kali ini aku melihat dari kejauhan mereka mengobrak-abrik seisi rumahku. Emak hanya menangis dan berkata ‘jangan’. Aku kesal sekali, perasaanku bercampur aduk. Aku berlari menghampiri mereka. Lalu, memukul salah satu dari ketiga pria itu sekuat tenaga. Namun, sebuah pukulan keras mendarat di kepalaku, bahkan berkali-kali.
Tangis emak pecah. Ketiga lelaki itu melarikan diri setelah melihatku jatuh tersungkur. Tangis emak semakin lama semakin pelan kurasa. Secepatnya aku mengeluarkan hadiah itu dan memberikannya kepada emak dengan senyum menahan sakit. Emak memelukku erat, menitikkan air matanya ke pipiku. Samar kulihat tangan emak penuh darah mengelus kepalaku—menyanyikanku lagu tidur yang masih ku ingat semasa kecil dulu. Langit kulihat berubah menjadi kelam. Angin ku rasa berhenti berhembus. Sepertinya matahari terdiam dalam rotasi. Tangis emak tak lagi terdengar.***

0 komentar:

:10 :11 :12 :13 :14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39

Posting Komentar