Cerpen
Oleh : DP Anggi | FAM790M Pekanbaru
Duri Cinta
Apa benar aku bisa terus bertahan? Menjalani
hari-hari seperti menelan duri, menghabiskan waktu seperti mereguk empedu. Aku
tertegun, tatapanku kosong, tertunduk lesu dengan pikiran yang menerawang. Apa
aku menyesal dengan semua keputusanku yang dulu aku pertahankan? Atau, apakah
ini karma atas perlawananku terhadap keluarga yang tidak merestui hubunganku
dengannya?
Aku berjalan menyusuri gang rumah, tatapanku dingin
dengan langkah tertatih. Aku baru saja pulang dari rumah majikan ku. Dari jauh,
anakku Putri menyambut ku. Ia berteriak dengan suara lucu khas anak berumur 7
tahun. Ibu! Ibu pulang! Ibu bawa apa? Namun aku hanya memberi putri kecilku
senyum tercekat. Dia paham betul ketika aku tersenyum seperti itu kepadanya. Dia
diam dan memegang jemari ku sambil berjalan ke pintu rumah.
Sampai di rumah, lagi-lagi tak ku jumpai suamiku.
Barangkali, seperti biasa dia pulang sekitar pukul 02.00 pagi dan pulang dengan
mata merah serta bau alkohol. Terkadang dia hanya singgah sebentar bersama
temannya, mandi dan pergi lagi tanpa menyapaku dan anakku. “Ya Allah, sabarkan
aku”, ucapku dalam hati.
“Ibu, besok Putri ujian, jangan lupa uang sekolah
Putri ya bu”, kata putri polos.
“Iya nak, Ibu sudah menyiapkannya sejak kemarin”,
kataku tersenyum sambil memperbaiki letak jilbab Putri. Setelah itu Putri pergi
lagi bermain dengan temannya. Aku memperhatikan Putri dari jauh, melihat wajah
cerianya. Takkan ku biarkan dia mengetahui apa yang aku rasakan selama ini. Bahkan
takkan ku biarkan dia turut merasakan kesedihanku. Ya, dengan wajah ceria Putri
itu, dengan gurat wajahnya yang polos, membuatku yakin dia tidak akan tahu
apapun yang dialami ibunya ini.
Aku pergi ke kamar dan berniat mengambil uang yang
telah kusimpan untuk uang Sekolah Putri. Aku mencari-cari. Ku keluarkan semua
baju di lemari namun tak ku dapati uang itu. Aku terhenyak. Ya Tuhan, uangku!
Uangku dimana? Kenapa tidak ada 1 lembar pun disini? Ku perhatikan sekeliling. Ku
lihat ada puntung rokok yang terjatuh di atas lantai. Tak salah lagi, itu ulah
suamiku.
Aku mulai tidak tahan, aku merasa seperti bom waktu
yang akan siap meledak menjadi molekul-molekul yang terpecah lagi menjadi
atom-atom. Untuk apa aku capek-capek bekerja kalau uangnya dipakai suamiku
berjudi! Untuk apa keringat ku bercucuran jika anak-anakku terlantar. Dari pada
aku minta bulanan pada suami yang suka berjudi, lebih baik aku menjual tenagaku!
Biarlah aku menjadi babu agar sekolah anak-anakku terbiayai.
Air mataku tertahan, bulir air mata ini menetes
kedalam ke relung hati terdalam, rasanya aku tidak kuat lagi menjalani semua
ini. Aku masih saja tertunduk, membisu. Putri kecilku telah pulang dari bermain
dan menatap mataku.
“Ibu kenapa?”, kata Putri ku lembut. Namun aku hanya
diam dan mendekapnya. Hening.
Aku bertahan selama ini hanya karena memikirkan Putri.
Awal aku menikah dengan dia, kami ini
adalah orang mampu, tapi semua habis di jualnya untuk berjudi. Dari luar aku
kelihatan seperti istri yang bahagia, tapi disini, hatiku hancur tercabik. Bahkan
ini terjadi sejak kami berpacaran, aku tetap kekeuh menikah dengannya agar dia berubah. Tolak tangan berayun kaki, peluk tubuh mengajar diri. Aku ingin dia
bisa mengendalikan diri dan meninggalkan kebiasaan bersenang-senangnya.
Aku harus bagaimana? Jika aku tidak bekerja,
bagaimana nasib anak-anakku? Bagaimana aku harus mebiayai sekolahnya? Bahkan
aku pernah memasang taktik agar dia tidak mengambil uang sekolah Putri dengan
cara tidak menerima gaji secara langsung dari majikanku, tapi suamiku datang
kerumah majikan ku dan mempermalukan aku dengan menuntut gaji.
Aku capek! aku lelah! Dari tahun ke tahun dia tidak
ada perubahan, aku sudah sering kali menasehatinya, dia hanya diam dan malah membanting
perabotan rumah, semakin aku nasehati dia malah semakin menjadi-jadi. Aku malu dengan
tetangga, apa lagi saat terdengar dia membanting piring, tetangga bertanya-tanya
apa yang terjadi, Aku hanya menjawab, itu anakku yang memecahkannya.
Uang sekolah Putri belum ku bayar, majikan pun
meminjamkan uang aku pasti menolak. Karena aku takut, ujung-ujungnya suamiku
mengambil uang itu. Pernah dia meminta agar aku berhenti bekerja, alasannya cuma
agar dia senang aku dirumah dari pada aku bekerja dirumah orang. Tapi, dia menghabiskan
uang hasil bekerjaku untuk berjudi. Bagaimana jika aku berhenti bekerja menjadi
babu jika ia masih tetap tidak berubah! Akan makan apa anakku nanti? Bagaimana
membiayai hidup kami dan pendidikan
Putri?
“Jika memang aku harus berhenti, kau harus berhenti berjudi,
carikan aku uang yang banyak, aku akan menjaga anak kita, bekerja dirumah”.
Kataku dengan air mata tertahan. Tapi lagi-lagi dia hanya diam dan beranjak
pergi.
Aku tidak tahan lagi, aku mengadu ke majikanku yang
baru, karena hanya disana aku merasa pernah dihargai orang. Baru kali ini aku
diperlakukan seperti saudara tanpa adanya istilah seperti atasan dan bawahan.
Namun semuanya tetap terjadi hingga aku melahirkan
anak ke 3. Pun sekarang, aku sudah mempunyai dua menantu, itu tidak
berpengaruh. Aku tetap menjadi babu di beberapa rumah orang. Dari pagi hingga
sore aku memeras keringat tanpa mengatakan sedikit lelah pun, tanpa pernah
mengeluh dan tetap tersenyum dengan hati yang terkoyak. Air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga. Ayah mertua ku dulu
juga seperti suamiku, dia berubah setelah usia nya senja.
0 komentar:
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39
Posting Komentar