*
Ridan adalah sebuah desa yang
terletak di sebuah bukit yang jauh sekali dari keramaian kota. Mata pencaharian
penduduk di desa itu pada umumnya adalah berkebun. Pagi-pagi sekali bapak-bapak
di desa itu sudah meninggalkan rumahnya untuk berkebun, termasuk Bapak Haira. Bapak
Haira bekerja di kebun Ubi Madu milik Pak Rusdin. Tapi, itu dulu saat Bapak
Haira masih hidup.
Haira adalah gadis kecil dua
tahun yang menggemaskan. Rambutnya keriwil dan matanya bulat, begitu juga
hidungnya. Setelah selesai membereskan rumah, Ibu Haira menanti Bu Dutmini
dengan kereta kudanya—seseorang yang biasa mengantarkan cuciannya ke rumah Ibu
Haira. Biasanya cucian itu akan diantar ke rumah Bu Dutmini satu kali seminggu
setelah pakaian bersih menumpuk. Ibu Haira mengantarkannya dengan gerobak
karena rumah Bu Dutmini cukup jauh untuk ditempuh dengan berjalan kaki. Di
dalam gerobak
yang dilapisi rotan itulah pakain Bu Dutmini yang sudah bersih
dan disetrika tertata rapi. Biasanya, hampir setiap hari Ibu Haira pergi ke
sungai untuk mencuci pakaian-pakaian itu. Jika Ibu Haira ke sungai untuk
mencuci, ia tidak akan meninggalkan Haira
sendiri di rumah. Haira anak semata wayangnya itu dibawa ke mana ia pergi.
Setelah selesai mencuci, ia
membawa pulang cuciannya dan menjemurnya di halaman samping rumah. Setelah
kering, pakaian itu disetrikanya. Setrikanya berbentuk segitiga dengan pemegang
yang dibalut dengan kain, terdapat pula rongga udara. Setrika itu terbuat dari
besi dan ada ruang kosong di tengahnya. Ruang kosong itulah tempat untuk
meletakkan bara tempurung yang sebelumnya dibakar. Ibu Haira biasa menggelar
tikar dan meletakkan kompor di sampingnya. Kompor minyak itu digunakan untuk
mempertahankan nyala bara.
Bu Dutmini memang ramah. Namun,
kata tetangga-tetangga yang pernah mencuci pakaiannya, jika pakaiannya itu
hilang atau rusak, Bu Dutmini bisa marah besar dan tidak akan memaafkan orang
tersebut. Karena mendengar itulah Ibu Haira harus hati-hati saat menyetrika.
Jika tidak, bisa saja percikan bara yang panas itu keluar dari setrika dan
merusak pakaian mahal milik Bu Dutmini.
Suatu hari, Ibu Haira sangat
lelah. Ibu Haira menyetrika pakaian dengan cepat karena ingin segera
beristirahat. Begitu ia mengibaskan pakaian Bu Dutmini yang besar, terbanglah
bara-bara tempurung dan mengenai pakaian itu. Ibu Haira sangat panik karena ia
tahu pakaian ini adalah pakaian baru yang belum dipakai Bu Dutmini.
Keesokan harinya, Bu Dutmini
mengantarkan lagi pakaian kotornya.
“Bagaimana pakaianku yang
berwarna ungu? Apa sudah selesai dicuci dan disetrika? Aku akan memakai itu lusa,”
ucap Bu Dutmini.
“Maaf, Bu. Belum selesai. Besok
akan kukirim bersama dengan pakaian yang sudah seminggu ini dicuci,” ucap Ibu
Haira menyembunyikan wajah cemasnya. Bu Dutmini pun pergi setelah mengantar
lagi pakaian kotornya. Dengan wajah lesu, Ibu Haira berjalan menuju sungai.
Sesampainya di sungai, Ibu Haira
mencuci pakaian sambil berpikir bagaimana ia akan mengganti pakaian Bu Dutmini
yang telah rusak. Saat ia mencuci, Haira tengah bermain dengan batu-batu sungai
dan daun-daun di sekitarnya. Ibu Haira memandangi anaknya sesaat lalu
tersenyum. Namun, seketika pakaian kotor yang berada di dalam keranjang
miliknya tersenggol olehnya. Keranjang itu hanyut dibawa arus sungai. Ibu Haira
semakin cemas. Ia sempat bingung, jika ia mengejar keranjang itu, ia akan
meninggalkan anaknya. Bisa saja anaknya akan hilang saat ia mengejar keranjang
itu. Lama ia berpikir, akhirnya ia pulang begitu saja sambil menggendong Haira.
Setibanya di rumah, ia menidurkan
Haira. Ia pun ikut berbaring dengan meletakkan tangan kirinya di atas
keningnya. Ia benar-benar bingung harus berbuat apa. Jika Bu Dutmini tahu
pakaian itu rusak dan hanyut, ia tidak akan lagi mendapat pekerjaan. Pikirannya
menjangkau masa depan yang ia bayang-bayangkan. Bu Dutmini bisa memecatku. Lalu, aku tidak bisa membesarkan anakku
dengan baik. Jika aku hanya sendiri, aku masih bisa bertahan. Tapi, Haira butuh
makanan bergizi dan susu.
***
Pagi-pagi sekali, Ibu Haira sudah
menyusun rapi pakain Bu Dutmini seadanya. Tapi, ia memasukkan Haira ke dalam
gerobak dengan posisi tertidur agar gerobak pakaian itu terlihat penuh dan
pakaian-pakaian itu tetap utuh. Hatinya begitu iba melihat Haira tertidur di
antara pakaian-pakaian itu. Semalaman ia sudah berpikir matang-matang, demi
kehidupan baik anaknya, ia harus melakukan ini.
Sesampainya di rumah Bu Dutmini,
penjaga kebun Bu Dutmini membuka gerbang dan mengantarkan Ibu Haira ke dalam
rumah yang seperti istana itu. Karena Bu Dutmini tidak ada di rumah, ia
letakkan saja gerobak pakaian itu di kamar khusus yang berisi pakaian-pakaian
Bu Dutmini.
Beberapa jam kemudian, Haira
terbangun dan keluar dari gerobak. Ia merasa lapar, lalu berjalan melewati pintu
kamar tersebut. Ia pun menangis karena tidak mengenali tempat itu. Penjaga
kebun yang sedang duduk di taman pun mendengar suara itu dan mencari dari mana
suara itu berasal. Betapa terkejutnya penjaga kebun menemukan seorang gadis di
dalam rumah Bu Dutmini. Karena ia tak tahu siapa ibu dari anak ini, dan tak
tahu pula siapa namanya, ia memutuskan untuk merawatnya saja. Penjaga kebun itu
memberi nama gadis kecil itu Eyelis, karena matanya yang sangat indah.
Bu Dutmini pun pulang, tak sabar
ia berjalan ke kamar pakaian. Namun, ia menemukan baju ungu yang akan
dipakainya esok dalam keadaan rusak. Ia marah, dan tak ingin lagi berurusan
dengan Ibu Haira. Saat ia berjalan ke taman, ia pun terkejut melihat penjaga
kebun sedang bersama gadis kecil. Ia pun membiarkan penjaga kebun itu
merawatnya saat penjaga kebun memohon kepadanya dengan syarat; ketika gadis itu
remaja, ia harus mencuci pakaian-pakaian Bu Dutmini.
Tahun berganti tahun, Eyelis
tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik jelita. Terkadang, saat Bu Dutmini
tidak sedang di rumah, Eyelis bermain dengan anak Bu Dutmini yang berusia tiga
tahun di atasnya—namanya Talba. Persahabatannya dengan Talba pun terjalin,
bahkan Talba tak segan membantu Eyelis mencuci pakaian-pakaian ibunya.
Selama beberapa tahun tinggal di rumah
Bu Dutmini, Eyelis lebih sering merasa kesepian. Talba lebih sering pergi
dengan ibunya. Penjaga kebun sibuk dengan pekerjaannya. Eyelis pun kerap
berbicara sendiri saat menjemur pakaian seolah membayangkan ia sedang bersama
seorang teman.
Talba memiliki dua orang teman
perempuan yang sering datang ke rumahnya. Dua orang teman Talba ini pernah
masuk ke halaman belakang. Mereka melihat Eyelis berbicara sendiri. Melihat
inilah dua orang teman Talba melaporkan Eyelis kepada Bu Dutmini bahwa Eyelis
adalah tukang sihir yang berbicara kepada jemuran dan menyamar sebagai gadis
yang cantik. Bu Dutmini pun mengusir Eyelis karena mendengar berita itu.
Eyelis malang tak tahu lagi harus
ke mana. Ia tak punya rumah dan tak mengenal siapa pun di desa itu. Penjaga
kebun dan Talba tak bisa berbuat apa-apa karena ia mereka takut Bu Dutmini
marah jika mereka membela Eyelis.
Eyelis mengikuti kakinya ke mana
ingin melangkah. Ia pun sampai di sebuah rumah yang terlihat tua. Ia masuk ke
dalamnya. Saat ia membuka pintu rumah itu, ia terkejut melihat seorang wanita
tengah merajut baju yang menurutnya sangat indah.
“Maaf, Bu. Aku tidak meminta izin
untuk masuk. Apakah ibu yang membuat pakaian-pakaian ini?”
“Tidak apa-apa, Nak. Oh, engkau
begitu cantik. Mengingatkanku pada seseorang, Nak…” ucap ibu itu.
“Mengapa dari luar terlihat tidak
ada kehidupan di sini, padahal di dalamnya sungguh indah…”
“Tidak apa-apa, Nak. Oh ya,
engkau seorang diri saja?”
“Iya, Bu. Aku telah diusir oleh
Bu Dutmini. Aku tidak tahu lagi harus ke mana,” ucapnya. Mendengar itu, darah ibu
itu berdesir. Jantungnya berdegup kencang. Ada air yang menggenang di kantung
matanya.
“Nak, ambillah pakaian ini.
Pakaian ini akan membuat Bu Dutmini merasa senang,”
“Aku tidak punya uang untuk
membelinya,”
“Bolehkah engkau berikan aku satu
pelukan saja, Nak?”
“Apa aku hanya membayarnya dengan
pelukan, Bu?”
“Iya, Nak…” ibu itu pun memeluk
Eyelis hangat hingga air mata hampir membasahi bahu Eyelis. Ibu itu buru-buru
mengusap air matanya dan menunduk seketika.
“Jika ia menanyakan apa yang
harus ia balas untuk baju ini, mintalah engkau tinggal di rumahnya dan mintalah
ia juga menjamin kehidupanmu agar bahagia,” mendengar itu, Eyelis tertegun.
Dengan mengucapkan terimakasih, Eyelis pun kembali ke rumah Bu Dutmini membawa
baju itu.
Setibanya di rumah, Bu Dutmini
menerima baju itu dengan wajah berseri-seri. Ia pun mengizinkan Eyelis kembali
tinggal di rumahnya. Baju itu digenggam Bu Dutmini sambil melihat cermin
berkali-kali. Itulah baju berwarna ungu yang dulu pernah rusak, dirajut lagi
oleh ibunya Haira yang kini telah menjadi Eyelis remaja. Ibu itu hanya melihat
Eyelis dari jauh hingga hilang dari pandangannya. Engkau sudah remaja, Nak. Ibu sangat merindukanmu…
*selesai*
Pondokan Ikhlas, 18 Oktober 2013
Salam hangat dan
semangat dari DP Anggi
FAM790M Pekanbaru
Very... Very Good Notes (y)... d ^^d
BalasHapus