Kamis, 24 Oktober 2013

Gadis dalam Gerobak


*

Ridan adalah sebuah desa yang terletak di sebuah bukit yang jauh sekali dari keramaian kota. Mata pencaharian penduduk di desa itu pada umumnya adalah berkebun. Pagi-pagi sekali bapak-bapak di desa itu sudah meninggalkan rumahnya untuk berkebun, termasuk Bapak Haira. Bapak Haira bekerja di kebun Ubi Madu milik Pak Rusdin. Tapi, itu dulu saat Bapak Haira masih hidup.

Haira adalah gadis kecil dua tahun yang menggemaskan. Rambutnya keriwil dan matanya bulat, begitu juga hidungnya. Setelah selesai membereskan rumah, Ibu Haira menanti Bu Dutmini dengan kereta kudanya—seseorang yang biasa mengantarkan cuciannya ke rumah Ibu Haira. Biasanya cucian itu akan diantar ke rumah Bu Dutmini satu kali seminggu setelah pakaian bersih menumpuk. Ibu Haira mengantarkannya dengan gerobak karena rumah Bu Dutmini cukup jauh untuk ditempuh dengan berjalan kaki. Di dalam gerobak
yang dilapisi rotan itulah pakain Bu Dutmini yang sudah bersih dan disetrika tertata rapi. Biasanya, hampir setiap hari Ibu Haira pergi ke sungai untuk mencuci pakaian-pakaian itu. Jika Ibu Haira ke sungai untuk mencuci, ia tidak akan meninggalkan  Haira sendiri di rumah. Haira anak semata wayangnya itu dibawa ke mana ia pergi.
 
Setelah selesai mencuci, ia membawa pulang cuciannya dan menjemurnya di halaman samping rumah. Setelah kering, pakaian itu disetrikanya. Setrikanya berbentuk segitiga dengan pemegang yang dibalut dengan kain, terdapat pula rongga udara. Setrika itu terbuat dari besi dan ada ruang kosong di tengahnya. Ruang kosong itulah tempat untuk meletakkan bara tempurung yang sebelumnya dibakar. Ibu Haira biasa menggelar tikar dan meletakkan kompor di sampingnya. Kompor minyak itu digunakan untuk mempertahankan nyala bara.

Bu Dutmini memang ramah. Namun, kata tetangga-tetangga yang pernah mencuci pakaiannya, jika pakaiannya itu hilang atau rusak, Bu Dutmini bisa marah besar dan tidak akan memaafkan orang tersebut. Karena mendengar itulah Ibu Haira harus hati-hati saat menyetrika. Jika tidak, bisa saja percikan bara yang panas itu keluar dari setrika dan merusak pakaian mahal milik Bu Dutmini.

Suatu hari, Ibu Haira sangat lelah. Ibu Haira menyetrika pakaian dengan cepat karena ingin segera beristirahat. Begitu ia mengibaskan pakaian Bu Dutmini yang besar, terbanglah bara-bara tempurung dan mengenai pakaian itu. Ibu Haira sangat panik karena ia tahu pakaian ini adalah pakaian baru yang belum dipakai Bu Dutmini.

Keesokan harinya, Bu Dutmini mengantarkan lagi pakaian kotornya.

“Bagaimana pakaianku yang berwarna ungu? Apa sudah selesai dicuci dan disetrika? Aku akan memakai itu lusa,” ucap Bu Dutmini.

“Maaf, Bu. Belum selesai. Besok akan kukirim bersama dengan pakaian yang sudah seminggu ini dicuci,” ucap Ibu Haira menyembunyikan wajah cemasnya. Bu Dutmini pun pergi setelah mengantar lagi pakaian kotornya. Dengan wajah lesu, Ibu Haira berjalan menuju sungai.

Sesampainya di sungai, Ibu Haira mencuci pakaian sambil berpikir bagaimana ia akan mengganti pakaian Bu Dutmini yang telah rusak. Saat ia mencuci, Haira tengah bermain dengan batu-batu sungai dan daun-daun di sekitarnya. Ibu Haira memandangi anaknya sesaat lalu tersenyum. Namun, seketika pakaian kotor yang berada di dalam keranjang miliknya tersenggol olehnya. Keranjang itu hanyut dibawa arus sungai. Ibu Haira semakin cemas. Ia sempat bingung, jika ia mengejar keranjang itu, ia akan meninggalkan anaknya. Bisa saja anaknya akan hilang saat ia mengejar keranjang itu. Lama ia berpikir, akhirnya ia pulang begitu saja sambil menggendong Haira.

Setibanya di rumah, ia menidurkan Haira. Ia pun ikut berbaring dengan meletakkan tangan kirinya di atas keningnya. Ia benar-benar bingung harus berbuat apa. Jika Bu Dutmini tahu pakaian itu rusak dan hanyut, ia tidak akan lagi mendapat pekerjaan. Pikirannya menjangkau masa depan yang ia bayang-bayangkan. Bu Dutmini bisa memecatku. Lalu, aku tidak bisa membesarkan anakku dengan baik. Jika aku hanya sendiri, aku masih bisa bertahan. Tapi, Haira butuh makanan bergizi dan susu.

***

Pagi-pagi sekali, Ibu Haira sudah menyusun rapi pakain Bu Dutmini seadanya. Tapi, ia memasukkan Haira ke dalam gerobak dengan posisi tertidur agar gerobak pakaian itu terlihat penuh dan pakaian-pakaian itu tetap utuh. Hatinya begitu iba melihat Haira tertidur di antara pakaian-pakaian itu. Semalaman ia sudah berpikir matang-matang, demi kehidupan baik anaknya, ia harus melakukan ini.

Sesampainya di rumah Bu Dutmini, penjaga kebun Bu Dutmini membuka gerbang dan mengantarkan Ibu Haira ke dalam rumah yang seperti istana itu. Karena Bu Dutmini tidak ada di rumah, ia letakkan saja gerobak pakaian itu di kamar khusus yang berisi pakaian-pakaian Bu Dutmini.

Beberapa jam kemudian, Haira terbangun dan keluar dari gerobak. Ia merasa lapar, lalu berjalan melewati pintu kamar tersebut. Ia pun menangis karena tidak mengenali tempat itu. Penjaga kebun yang sedang duduk di taman pun mendengar suara itu dan mencari dari mana suara itu berasal. Betapa terkejutnya penjaga kebun menemukan seorang gadis di dalam rumah Bu Dutmini. Karena ia tak tahu siapa ibu dari anak ini, dan tak tahu pula siapa namanya, ia memutuskan untuk merawatnya saja. Penjaga kebun itu memberi nama gadis kecil itu Eyelis, karena matanya yang sangat indah.

Bu Dutmini pun pulang, tak sabar ia berjalan ke kamar pakaian. Namun, ia menemukan baju ungu yang akan dipakainya esok dalam keadaan rusak. Ia marah, dan tak ingin lagi berurusan dengan Ibu Haira. Saat ia berjalan ke taman, ia pun terkejut melihat penjaga kebun sedang bersama gadis kecil. Ia pun membiarkan penjaga kebun itu merawatnya saat penjaga kebun memohon kepadanya dengan syarat; ketika gadis itu remaja, ia harus mencuci pakaian-pakaian Bu Dutmini.

Tahun berganti tahun, Eyelis tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik jelita. Terkadang, saat Bu Dutmini tidak sedang di rumah, Eyelis bermain dengan anak Bu Dutmini yang berusia tiga tahun di atasnya—namanya Talba. Persahabatannya dengan Talba pun terjalin, bahkan Talba tak segan membantu Eyelis mencuci pakaian-pakaian ibunya.

Selama beberapa tahun tinggal di rumah Bu Dutmini, Eyelis lebih sering merasa kesepian. Talba lebih sering pergi dengan ibunya. Penjaga kebun sibuk dengan pekerjaannya. Eyelis pun kerap berbicara sendiri saat menjemur pakaian seolah membayangkan ia sedang bersama seorang teman.

Talba memiliki dua orang teman perempuan yang sering datang ke rumahnya. Dua orang teman Talba ini pernah masuk ke halaman belakang. Mereka melihat Eyelis berbicara sendiri. Melihat inilah dua orang teman Talba melaporkan Eyelis kepada Bu Dutmini bahwa Eyelis adalah tukang sihir yang berbicara kepada jemuran dan menyamar sebagai gadis yang cantik. Bu Dutmini pun mengusir Eyelis karena mendengar berita itu.

Eyelis malang tak tahu lagi harus ke mana. Ia tak punya rumah dan tak mengenal siapa pun di desa itu. Penjaga kebun dan Talba tak bisa berbuat apa-apa karena ia mereka takut Bu Dutmini marah jika mereka membela Eyelis.

Eyelis mengikuti kakinya ke mana ingin melangkah. Ia pun sampai di sebuah rumah yang terlihat tua. Ia masuk ke dalamnya. Saat ia membuka pintu rumah itu, ia terkejut melihat seorang wanita tengah merajut baju yang menurutnya sangat indah.

“Maaf, Bu. Aku tidak meminta izin untuk masuk. Apakah ibu yang membuat pakaian-pakaian ini?”

“Tidak apa-apa, Nak. Oh, engkau begitu cantik. Mengingatkanku pada seseorang, Nak…” ucap ibu itu.

“Mengapa dari luar terlihat tidak ada kehidupan di sini, padahal di dalamnya sungguh indah…”

“Tidak apa-apa, Nak. Oh ya, engkau seorang diri saja?”

“Iya, Bu. Aku telah diusir oleh Bu Dutmini. Aku tidak tahu lagi harus ke mana,” ucapnya. Mendengar itu, darah ibu itu berdesir. Jantungnya berdegup kencang. Ada air yang menggenang di kantung matanya.

“Nak, ambillah pakaian ini. Pakaian ini akan membuat Bu Dutmini merasa senang,”

“Aku tidak punya uang untuk membelinya,”

“Bolehkah engkau berikan aku satu pelukan saja, Nak?”

“Apa aku hanya membayarnya dengan pelukan, Bu?”

“Iya, Nak…” ibu itu pun memeluk Eyelis hangat hingga air mata hampir membasahi bahu Eyelis. Ibu itu buru-buru mengusap air matanya dan menunduk seketika.

“Jika ia menanyakan apa yang harus ia balas untuk baju ini, mintalah engkau tinggal di rumahnya dan mintalah ia juga menjamin kehidupanmu agar bahagia,” mendengar itu, Eyelis tertegun. Dengan mengucapkan terimakasih, Eyelis pun kembali ke rumah Bu Dutmini membawa baju itu.

Setibanya di rumah, Bu Dutmini menerima baju itu dengan wajah berseri-seri. Ia pun mengizinkan Eyelis kembali tinggal di rumahnya. Baju itu digenggam Bu Dutmini sambil melihat cermin berkali-kali. Itulah baju berwarna ungu yang dulu pernah rusak, dirajut lagi oleh ibunya Haira yang kini telah menjadi Eyelis remaja. Ibu itu hanya melihat Eyelis dari jauh hingga hilang dari pandangannya. Engkau sudah remaja, Nak. Ibu sangat merindukanmu…
*selesai*

Pondokan Ikhlas, 18 Oktober 2013
Salam hangat dan semangat dari DP Anggi

FAM790M Pekanbaru

1 komentar: