Kamis, 24 Oktober 2013

Bedak yang Tertumpah



Pagi itu, Uci bermain di kamar dengan bonekanya. Uci adalah gadis kecil berusia empat tahun. Uci mendudukkan boneka pandanya di kursi dan ia duduk di lantai. Uci memegang kuali mainan dan meletakkan kuali itu di atas kompor mainan. Ia mengambil manik-manik gelang yang sudah putus saat kemarin gelangnya tersangkut di pagar rumah. Manik-manik itu ia masukkan ke dalam kuali mainan, lalu menaburkan bedak dan mengaduk-aduknya.

“Uci sayang, papa pergi kerja dulu ya… Belajar yang rajin di rumah ya sama mama. Nanti, papa belikan buku gambar,” Uci menyalami papanya, lalu ia berdiri dan mengantarkan papanya sampai pagar rumah bersama mamanya.

“Siap, papa. Usyi bisa jadi anak pintay,” ucapnya sambil tersenyum.


Setelah itu, mama Uci mencuci pakaian. Uci kembali ke kamar untuk main masak-masak. Setelah mencuci pakaian dan menjemurnya, mama Uci pergi ke kamar. Ia melihat Uci sedang berdiri di kursi kerjanya dan mengusap-usap kursi itu. Ternyata, Uci menumpahkan bedak milik mamanya tepat di atas kursi kerja papa. Jadilah kursi biru tua itu putih-putih tertumpah bedak.

“Sayang, kursinya kenapa?” tanya mama dengan suara lembut sambil menatap anaknya.

“Bedak tumpa. Usyi minta maafan ya, mama?” ucapnya dengan kata-kata yang belum sempurna.

“Iya, sayang. Mama maafkan. Tapi, tadi Uci tidak minta izin ya mengambil bedak mama? Lain kali, minta izin dulu ya, Nak. ‘Kan bedaknya punya mama,”

“Iya, mama. Usyi minta maafan,”

“Iya, sayang. Kita tidak boleh mengambil milik orang lain sebelum orang itu memberi izin,”

“Siap, mama…”

“Sekarang, bagaimana membersihkan kursi ini?” tanya mama dengan kening berkerut. Uci pun mengambil bantal tidur mamanya dan menutup kursi itu dengan bantal.

“Begini mama…” ucap Uci dengan senyum kecilnya.

“Itu namanya bukan membersihkan, sayang. Tapi, sekadar menutupi,”

“Ditutupi saja ‘kan sudah, mama… sudah bersyih,”

“Sayang… kita tidak boleh menutupi masalah. Kita harus berpikir dan mencari akal bagaimana menyelesaikannya,”

“Iya, mama,” ucapnya mengangguk kecil.

“Hmmm, bagaimana ya membersihkannya…” tanya mama lagi.

“Hmmm… tunggu sebental, mama,” ucapnya sambil berjalan ke luar. Lalu ia kembali lagi dengan membawa sapu tangan yang diambilnya di meja makan.

“Begini, mama… dipel ya,” mama Uci pun menahan tawa mendengar anak semata wayangnya mengatakan ingin mengepel kursi.

“Bagaimana kalau dibasahi dulu sayang sapu tangannya?” usul mama. Uci pun pergi ke kamar mandi dan membasahkan sapu tangan itu. Ia mengusap-usap kursi itu lagi.

“Wah, sepertinya tidak akan bersih. Sebentar sayang. Mungkin kalau disikat bisa,” mama pun mengambil sikat gigi yang tidak dipakai lalu membasahinya dengan air.

“Coba Uci pakai ini. Sekarang, Uci sikat ya kursinya,” Uci pun menyikat kursi itu dengan sikat gigi yang tadi sudah dibasahi.

“Wah. Bisya mama! Hoyyeee!” teriaknya kegirangan.

“Alhamdulillah. Kalau begitu, Uci sikat ya kursi ini hingga bersih. Kalau sikat giginya kering, nanti dibasahi lagi, ya?”

“Ukay, mama.”

Dua belas menit berlalu. Mama Uci memperhatikan anaknya bolak-balik ke kamar mandi yang tak jauh untuk membasahkan sikat gigi yang kering dan kembali menyikat kursi itu.

“Sudah bersih belum sayang?” tanya mama sesekali.

“Beyum, Ma. Masyih ada bedak…”

Tak lama, terdengar suara Papa Uci yang mengucap salam. Uci pun berhenti menyikat kursi dan keluar kamar melihat papanya.

“Papa kenapa syudah puyang?” tanya Uci melihat papanya sudah berdiri di pintu rumah
.
“Ada yang tertinggal, Nak. Papa lupa membawa handphone,”

“Oh, hengpon papa tinggay…”

“Iya, Nak,” papa Uci pun masuk ke rumah.

“Papa lepas dulu syepatunya, ya… Tidak boleh nakay ya papa…” ucap Uci. Papanya pun tersenyum. Mama yang mendengar percakapan mereka berdua pun membawa handphone papa yang tertinggal di kamar.

“Makasyih mama sudah bawa hengpon papa,” ucap Uci lagi.

“Loh, Uci mengapa pegang sikat gigi? Kan tadi sudah mandi,” tanya papa. Mendengar itu, Uci baru teringat tugasnya membersihkan kursi kerja papanya belum selesai.

“Uci menumpahkan bedak padat mama di kursi kerja, Pa…” ucap mama Uci.

“Uci tidak dimarahkan, kan Ma?”

“Tentu tidak…” tak lama, Uci pun keluar dari kamar.

“Mama… syudah ya… Usyi capek…” ucap Uci memelas.

“Oke. Biar mama teruskan ya, sayang.  Terimakasih Nak sudah bertanggung jawab membersihkan kursinya mama…” ucap mama Uci mencium anaknya.

Pondokan Ikhlas, 20 Oktober 2013
Salam hangat dan semangat dari DP Anggi
FAM790M Pekanbaru

Terinspirasi dari membaca sebuah tulisan dari Retnadi
_______________________________________

Sumber Gambar: www.soniazone.wordpress.com

0 komentar:

:10 :11 :12 :13 :14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39

Posting Komentar