Pagi itu, Uci bermain di kamar
dengan bonekanya. Uci adalah gadis kecil berusia empat tahun. Uci mendudukkan
boneka pandanya di kursi dan ia duduk di lantai. Uci memegang kuali mainan dan
meletakkan kuali itu di atas kompor mainan. Ia mengambil manik-manik gelang
yang sudah putus saat kemarin gelangnya tersangkut di pagar rumah. Manik-manik
itu ia masukkan ke dalam kuali mainan, lalu menaburkan bedak dan
mengaduk-aduknya.
“Uci sayang, papa pergi kerja dulu
ya… Belajar yang rajin di rumah ya sama mama. Nanti, papa belikan buku gambar,”
Uci menyalami papanya, lalu ia berdiri dan mengantarkan papanya sampai pagar
rumah bersama mamanya.
“Siap, papa. Usyi bisa jadi anak
pintay,” ucapnya sambil tersenyum.
Setelah itu, mama Uci mencuci
pakaian. Uci kembali ke kamar untuk main masak-masak. Setelah mencuci pakaian
dan menjemurnya, mama Uci pergi ke kamar. Ia melihat Uci sedang berdiri di
kursi kerjanya dan mengusap-usap kursi itu. Ternyata, Uci menumpahkan bedak milik
mamanya tepat di atas kursi kerja papa. Jadilah kursi biru tua itu putih-putih
tertumpah bedak.
“Sayang, kursinya kenapa?” tanya
mama dengan suara lembut sambil menatap anaknya.
“Bedak tumpa. Usyi minta maafan ya,
mama?” ucapnya dengan kata-kata yang belum sempurna.
“Iya, sayang. Mama maafkan. Tapi,
tadi Uci tidak minta izin ya mengambil bedak mama? Lain kali, minta izin dulu
ya, Nak. ‘Kan bedaknya punya mama,”
“Iya, mama. Usyi minta maafan,”
“Iya, sayang. Kita tidak boleh
mengambil milik orang lain sebelum orang itu memberi izin,”
“Siap, mama…”
“Sekarang, bagaimana membersihkan
kursi ini?” tanya mama dengan kening berkerut. Uci pun mengambil bantal tidur
mamanya dan menutup kursi itu dengan bantal.
“Begini mama…” ucap Uci dengan
senyum kecilnya.
“Itu namanya bukan membersihkan,
sayang. Tapi, sekadar menutupi,”
“Ditutupi saja ‘kan sudah, mama…
sudah bersyih,”
“Sayang… kita tidak boleh menutupi
masalah. Kita harus berpikir dan mencari akal bagaimana menyelesaikannya,”
“Iya, mama,” ucapnya mengangguk
kecil.
“Hmmm, bagaimana ya
membersihkannya…” tanya mama lagi.
“Hmmm… tunggu sebental, mama,”
ucapnya sambil berjalan ke luar. Lalu ia kembali lagi dengan membawa sapu
tangan yang diambilnya di meja makan.
“Begini, mama… dipel ya,” mama Uci
pun menahan tawa mendengar anak semata wayangnya mengatakan ingin mengepel
kursi.
“Bagaimana kalau dibasahi dulu
sayang sapu tangannya?” usul mama. Uci pun pergi ke kamar mandi dan membasahkan
sapu tangan itu. Ia mengusap-usap kursi itu lagi.
“Wah, sepertinya tidak akan bersih.
Sebentar sayang. Mungkin kalau disikat bisa,” mama pun mengambil sikat gigi
yang tidak dipakai lalu membasahinya dengan air.
“Coba Uci pakai ini. Sekarang, Uci
sikat ya kursinya,” Uci pun menyikat kursi itu dengan sikat gigi yang tadi
sudah dibasahi.
“Wah. Bisya mama! Hoyyeee!”
teriaknya kegirangan.
“Alhamdulillah. Kalau begitu, Uci
sikat ya kursi ini hingga bersih. Kalau sikat giginya kering, nanti dibasahi
lagi, ya?”
“Ukay, mama.”
Dua belas menit berlalu. Mama Uci
memperhatikan anaknya bolak-balik ke kamar mandi yang tak jauh untuk
membasahkan sikat gigi yang kering dan kembali menyikat kursi itu.
“Sudah bersih belum sayang?” tanya
mama sesekali.
“Beyum, Ma. Masyih ada bedak…”
Tak lama, terdengar suara Papa Uci
yang mengucap salam. Uci pun berhenti menyikat kursi dan keluar kamar melihat
papanya.
“Papa kenapa syudah puyang?” tanya
Uci melihat papanya sudah berdiri di pintu rumah
.
“Ada yang tertinggal, Nak. Papa
lupa membawa handphone,”
“Oh, hengpon papa tinggay…”
“Iya, Nak,” papa Uci pun masuk ke
rumah.
“Papa lepas dulu syepatunya, ya…
Tidak boleh nakay ya papa…” ucap Uci. Papanya pun tersenyum. Mama yang
mendengar percakapan mereka berdua pun membawa handphone papa yang tertinggal
di kamar.
“Makasyih mama sudah bawa hengpon
papa,” ucap Uci lagi.
“Loh, Uci mengapa pegang sikat
gigi? Kan tadi sudah mandi,” tanya papa. Mendengar itu, Uci baru teringat
tugasnya membersihkan kursi kerja papanya belum selesai.
“Uci menumpahkan bedak padat mama
di kursi kerja, Pa…” ucap mama Uci.
“Uci tidak dimarahkan, kan Ma?”
“Tentu tidak…” tak lama, Uci pun
keluar dari kamar.
“Mama… syudah ya… Usyi capek…” ucap
Uci memelas.
“Oke. Biar mama teruskan ya,
sayang. Terimakasih Nak sudah
bertanggung jawab membersihkan kursinya mama…” ucap mama Uci mencium anaknya.
Pondokan Ikhlas, 20 Oktober 2013
Salam hangat dan semangat dari DP Anggi
FAM790M Pekanbaru
Terinspirasi dari membaca sebuah
tulisan dari Retnadi
_______________________________________
Sumber Gambar: www.soniazone.wordpress.com
0 komentar:
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39
Posting Komentar