Oleh DP Anggi
Ke mana gadis itu? Gadis usia belasan
yang setiap hari memenuhi beranda-berandaku dengan puisi-puisi manisnya. Puisi
yang menyimpan jiwa sastra, serta aksara yang tak pernah lelah. Biasanya,
setiap hari, tiada hari tanpa puisi baginya. Aku sudah terbiasa menikmati
puisinya sambil duduk santai, dengan hati terkulai. Puisinya merasuk tajam, ke
relungku terdalam.
Aku, tak pernah berani untuk
menyapanya. Tak berani, meski hanya mengucap salam. Tak bernyali. Sering, hanya
pada angin, kusampaikan, Apa kabarmu, gadis puisi?
Tapi, beberapa hari ini
dia menghilang. Ke mana dia? Apa dia pensiun dari hobinya? Atau, ada sesuatu
yang terjadi padanya? Sudah kucoba mengorek-ngorek informasi tentangnya.
Mencari tahu, apa yang sedang terjadi. Puisi-puisi terakhirnya pun, terasa
gusar saat dibaca. Ah, semoga Tuhan tetap melindunginya.
Tiba-tiba angin berbisik, “Kejar
gadis puisi itu! Jika tidak, kau takkan pernah menemuinya lagi, bahkan
puisi-puisinya akan hilang dari dunia ini!”
Lalu, aku berlari ke arah angin
yang berbisik. Aku terus mengikuti, hingga bendera putih aku temui. Tapi, di
sebelahnya, berdiri janur kuning yang tinggi.
“Apa ini? Yang mana rumah gadis
itu? Dia yang menikah, atau yang kembali pada Ilahi?” Hatiku mulai diamuk sedih.
Tak lama, seorang misterius menghampiriku. Ia menyodorkan secarik kertas berwarna putih.
“Anak muda, janur kuning ini
adalah rumah gadismu,”
“Apa dia sudah menikah, Pak?”
“Seharusnya begitu. Tapi,”
“Tapi apa, Pak?”
“Sudahlah, baca saja surat ini. Ia
menitipkan ini padaku,” ucapnya. Kuterima surat itu dengan tangan bergetar. Saat
kupandang surat, orang itu menghilang. Perlahan, kubuka, kubaca, dengan mata
yang membasah.
Apa kabar, duhai pembaca setiaku? Aku tahu, kaulah orang yang setiap hari hadir menghidupi puisi-puisiku dengan maknamu. Aku sengaja menulisnya setiap hari, agar kau tetap tersenyum. Aku tahu, kau lelaki pemalu. Lelaki yang selalu berbisik riuh pada sahabatku, angin. Pernahkah, kau? Merasa kau adalah nyawa dari puisi-puisiku? Ruh dari imaji-imajiku? Energi pada desah napasku? Pernahkah, kau?
Kita menahan ego masing-masing, hanya untuk tidak saling berbicara meski aku sungguh mengharapkannya. Hingga, putus asa tiba saat seorang lelaki datang, dan berjanji menemani hari-hariku. Lalu, aku menulis puisi sebelum hari aku menikah. Janur kuning telah tegak sempurna. Namun, ia mencampakkan puisiku. Sedangkan, puisiku adalah nyawaku dan nyawamu. Puisiku terhempas, begitu pun aku. Kemudian, perlahan dunia ini melegam, kelam.***
~Salam hangat dan
semangat dari DP Anggi
FAM790M Pekanbaru
0 komentar:
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39
Posting Komentar