Senin, 18 Februari 2013

Sang Gadis Puisi


 Oleh DP Anggi


Ke mana gadis itu? Gadis usia belasan yang setiap hari memenuhi beranda-berandaku dengan puisi-puisi manisnya. Puisi yang menyimpan jiwa sastra, serta aksara yang tak pernah lelah. Biasanya, setiap hari, tiada hari tanpa puisi baginya. Aku sudah terbiasa menikmati puisinya sambil duduk santai, dengan hati terkulai. Puisinya merasuk tajam, ke relungku terdalam.

Aku, tak pernah berani untuk menyapanya. Tak berani, meski hanya mengucap salam. Tak bernyali. Sering, hanya pada angin, kusampaikan, Apa kabarmu, gadis puisi?
Tapi, beberapa hari ini dia menghilang. Ke mana dia? Apa dia pensiun dari hobinya? Atau, ada sesuatu yang terjadi padanya? Sudah kucoba mengorek-ngorek informasi tentangnya. Mencari tahu, apa yang sedang terjadi. Puisi-puisi terakhirnya pun, terasa gusar saat dibaca. Ah, semoga Tuhan tetap melindunginya.

Tiba-tiba angin berbisik, “Kejar gadis puisi itu! Jika tidak, kau takkan pernah menemuinya lagi, bahkan puisi-puisinya akan hilang dari dunia ini!”

Lalu, aku berlari ke arah angin yang berbisik. Aku terus mengikuti, hingga bendera putih aku temui. Tapi, di sebelahnya, berdiri janur kuning yang tinggi.

“Apa ini? Yang mana rumah gadis itu? Dia yang menikah, atau yang kembali pada Ilahi?” Hatiku mulai diamuk sedih. Tak lama, seorang misterius menghampiriku. Ia menyodorkan secarik kertas berwarna putih. 

“Anak muda, janur kuning ini adalah rumah gadismu,”

“Apa dia sudah menikah, Pak?”

“Seharusnya begitu. Tapi,”

“Tapi apa, Pak?”

“Sudahlah, baca saja surat ini. Ia menitipkan ini padaku,” ucapnya. Kuterima surat itu dengan tangan bergetar. Saat kupandang surat, orang itu menghilang. Perlahan, kubuka, kubaca, dengan mata yang membasah.

Apa kabar, duhai pembaca setiaku? Aku tahu, kaulah orang yang setiap hari hadir menghidupi puisi-puisiku dengan maknamu. Aku sengaja menulisnya setiap hari, agar kau tetap tersenyum. Aku tahu, kau lelaki pemalu. Lelaki yang selalu berbisik riuh pada sahabatku, angin. Pernahkah, kau? Merasa kau adalah nyawa dari puisi-puisiku? Ruh dari imaji-imajiku? Energi pada desah napasku? Pernahkah, kau?
Kita menahan ego masing-masing, hanya untuk tidak saling berbicara meski aku sungguh mengharapkannya. Hingga, putus asa tiba saat seorang lelaki datang, dan berjanji menemani hari-hariku. Lalu, aku menulis puisi sebelum hari aku menikah. Janur kuning telah tegak sempurna. Namun, ia mencampakkan puisiku. Sedangkan, puisiku adalah nyawaku dan nyawamu. Puisiku terhempas, begitu pun aku. Kemudian, perlahan dunia ini melegam, kelam.***

~Salam hangat dan semangat dari DP Anggi
FAM790M Pekanbaru

0 komentar:

:10 :11 :12 :13 :14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39

Posting Komentar