Jumat, 15 Februari 2013

Kehidupan Para Burung

Oleh DP Anggi


Dari atas sini, aku terbang sebebas mungkin. Sangat bebas bahkan. Tak perduli akan tersesat, karena pasti akan Tersesat Di Jalan Yang Benar. Kenapa? Karena Allah bersamaku. Aku bebas melakukan apa saja. Tidak susah payah turun ke tanah dan mengantri panjang di pertamina. Aku tidak perlu turun mesin. Masuk bengkel, atau kehabisan oli. Aku juga tak perlu membuat SIM. Tak perlu E-KTP. Aku hanya butuh makan dan minum saja, lalu parkir sebentar di pohon untuk istirahat. Tentu, tidak pakai retribusi. Alhamdulillah. Allah benar-benar Maha Kuasa. Dia memberiku kehidupan yang serba gratis. Gratis makan, gratis minum, gratis parkir di mana saja, gratis menghirup udara segar, dan tentunya gratis melihat alamNya yang begitu indah serta bernaung bersama ciptaanNya. Tidak seperti manusia. Hidupnya mahal, apa-apa mesti bayar. Bahkan, saat terlahir saja, orangtuanya harus mengeluarkan uang jutaan. Belum lagi saat menjalani pendidikan. Dan, kalau sudah bekerja pasti akan butuh pamrih. Jika terlena, pasti jadi tikus berdasi. Itu sih, katanya. Gosip-gosip yang kuterima dari sesama makhlukNya.

Biasa. Manusia menyebutnya kabar burung. Sampai-sampai, bangsa kami dijadikan salah satu icon untuk jejaring social. Pada akhirnya, kami juga yang jadi korban, kan? Kami juga hidup damai. Kami tidak perlu terjerat kasus pembunuhan, tak mendengar perkosaan, tak perlu menyaksikan ketua-ketua yang menikah sirih. Tak susah payah memilih. Partai kami partai tunggal. Partai Burung Sejahtera. Kami sangat rajin beribadah. Meski kami sering jadi buah bibir partai tetangga dari dunia maya.

Mengapa? Sewot? Aku mencintai partaiku. Pemimpin kami sangat baik. Mengayomi, dan dijamin tidak tersandung kasus korupsi, apalagi sapi. Paling kalau ada, itu hanya fitnah-fitnah keji. Kami hidup bebas, tanpa batas untuk sayap mengibas. Kabar burung, katanya ada yang akan digantung di monas. Berbahagialah para burung dan sebangsa kami karena kami suka dengan orang yang menunaikan janji. Tidak pakai melarikan diri.

Sayangnya, beberapa dari jenis kami punah. Ini gara-gara manusia. Yang seenak perutnya melepas nafsu dunia. Hutan-hutan kami hampir musnah. Keturunan-keturunan kamipun mendekati angka bahaya. Kadang, saat tak tahan lagi dengan ulah manusia, aku terbang bebas di angkasa. Di sana sepi, sendiri. Eh, tahu-tahu ada sesosok sebangsaku. Tapi, tubuhnya terbuat dari besi. Kualitasnya okelah, tapi juga ada yang kualiatas rendah, denganku saja kalah. Kasian penumpang-penumpangnya. Andai saja aku bisa sebesar itu, seperti film-film laga yang tak sengaja aku pernah menontonnya. Akan aku beri tumpangan manusia yang ingin bepergian.

Oh, film laga itu. Benar-benar menjadi inspirasi untuk sebangsa kami. Menarik minat anak-anak burung untuk pandai terbang dan mau untuk makan, ceritanya agar bisa sebesar dan sehebat itu melawan siluman. Dunia manusia memang lucu, tapi begitu mahal. Alhamdulillah bernapas pun tak bayar. Coba saja bernapas itu bayar, sudah berapa banyak uang yang habis? Allah Maha Pengasih dan Maha Pemurah. Takkan membiarkan hamba-hambaNya menderita. Tapi, Tuhan, Mengapa Manusia Begitu Ingkar? Begitulah kira-kira tanam-tanaman pernah berkata.

Sebagai seekor burung, aku turut bangga. Bangga, ada Burung Garuda di Indonesia. Ada Pesawat Garuda. Ada Kursi Garuda. Tapi, aku sendiri belum pernah melihat yang namanya Burung Garuda. Apa dia benar-benar ada? Atau, hanya dongeng belaka? Apa kau bisa menjawabnya? Tak payah, hidupku sudah bahagia. Rasanya, Seperti Didekap Tuhan. Walau istriku telah mati, hanya Tinggal Sebuah Nisan, tapi, istriku selalu bilang pada seucap selamat tinggal, “Suatu saat nanti, Percayalah. Kita akan bertemu di jannahNya”. Istriku romantis bukan? Bahkan di sisa-sisa napasnya pun dia tetap bisa mengatakan ada Detak Cinta yang akan selalu tersimpan di hatinya.

Anakku juga sudah tiada. Padahal, kala pemburu tiba aku sudah berteriak, “Sembunyi, Nak!” Tapi, anakku tak bisa terbang cepat dengan sayap kecilnya. Saat itu, aku sempat menjadi seperti Puisi Yang Tertekan. Pada nisan-nisan mereka, kukatakan, “Kulepas Kepergianmu, Sayang”. Dan, aku juga berjanji, Setelah Ini, Aku Takkan Menikah walau terkadang rasanya Aku Mati Karena Sepi.

Inilah jalan yang kupilih Saat Tuhan Menunjukkan CintaNya. Begitulah indahnya cinta. Kami para burung tak pernah bosan membahasnya. Karena sebenarnya, Cinta Itu Tidak Pernah Menyakitimu. Hanya saja, kau manusia sering salah mengartikan cinta dan malah mengikuti hawa nafsu. Yang kata Mas Deddy Corbuzier itu hanyalah shortem Happiness. Maka, aku mewakili para burung yang numpang hidup di Bumi Allah, kejarlah akhirat dengan dunia. Karena dunia, adalah ladang amal dan ibadah menuju akhiratNya. Kehidupan yang lebih kekal, bukan sebuah kenikmatan yang berselang penderitaan.

~Salam hangat dan semangat dari DP Anggi
FAM790M Pku

0 komentar:

:10 :11 :12 :13 :14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39

Posting Komentar