Namanya Cing Kuak. Orang-orang memanggilnya Pak Kuak. Kelatahan lidah orang-orang melayu, membuat namanya bergeser menjadi Pakuak. Semasa kecil, Pakuak sering kali mendapat ejekan dari kawan-kawannya sebab namanya persis seperti salah satu sebutan kera di kampung ini—Cingkuak. Namun, maknya selalu berpesan, tidak mesti ada asap meski pun ada api.
Pakuak hidup di sebuah bukit yang jauh dari hingar bingar kota. Jalan di sana penuh dengan belukar, pohon-pohon besar, dan masih mudah dijumpai hewan liar. Keinginan Pakuak untuk bersekolah membuatnya kini mengabdi sebagai guru di Bukit Cadika itu walau di masa kecilnya Pakuak selalu diejek oleh ibu-ibu yang anaknya secara turun-temurun kini belajar di sekolah yang didirikan Pakuak.
***
Awan mendung dan angin menampar keras daun-daun, membuat bapak Cing Kuak memacu becak kencang sekali. Saat becak itu akan melewati tikungan, tiba-tiba melintas seekor kera yang biasa disebut Cingkuak oleh masyarakat di sana. Mak yang mendengar suaminya berteriak lantang “Cinggggkuakkkkkk!”, langsung senyum-senyum karena sudah merasa menemukan nama untuk anak semata wayangnya.
“Pak, aku sudah menemukan nama untuk anak kita,” kata mak ketika sampai di halaman rumah.
“Benarkah? Siapa?”
“Cing Kuak,” ucapnya pendek. Bapak Cing Kuak terbatuk-batuk mendengarnya.
“Kau tidak tahu apa itu Cingkuak? Itu nama Kera! Mengapa harus itu?”
“Ah, pokoknya aku suka sekali nama itu. Aku tidak mau menukarnya dengan nama lain, Pak.” Ucap mak berlalu ke dalam rumah.
Orang-orang di bukit mulai berdatangan memberikan ucapan selamat atas kelahiran Pakuak. Namun, setiap mereka mendengar nama-nya mereka akan saling berbisik dan mencibir; persis seperti warna kulitnya yang gelap, dan telinga lebarnya itu, juga hidungnya yang mancung ke dalam. Mak Pakuak hanya berdoa agar Sang Pemilik lebih mengabulkan doa yang hanya mengandung kebaikan.
Oktober 2000
Pakuak berusia sepuluh tahun. Di usianya itu ia lebih unggul daripada teman-teman sebayanya. Pakuak selalu menang saat bermain lari-larian. Selalu tinggi menerbangkan layangan. Selalu yang akhir tertangkap ketika mereka bermain Tonggak Dingin. Selalu jauh pukulannya ketika bermain Patok Lele. Keunggulannya itulah yang membuat mak dan bapaknya merasa bangga.
Yang lebih membuat mak-bapaknya merasa bangga adalah ketika Pakuak diberikan pilihan yang katanya berpengaruh pada masa depan. Saat itu Pakuak berusia satu tahun—saat Pakuak sudah bisa merangkak. Bapaknya mengambil tiga macam barang, yaitu buku, uang, dan sayuran yang diletakkan satu meter di depannya. Jika Pakuak memilih buku, Pakuak berkemungkinan menjadi orang yang pintar, bahkan bisa menjadi guru. Jika Pakuak mengambil uang, kemungkinan besar Pakuak adalah orang yang hanya ingin berfoya-foya dengan uang atau bisa jadi gila harta. Dan, jika pakuak memilih sayuran, Pakuak berkemungkinan menjadi petani atau pedagang.
Ketika pakuak dibiarkan merangkak sendiri, tanpa ragu Pakuak merangkak cepat ke arah buku dan mengambilnya. Pakuak tertawa kecil, mak-bapaknya memeluknya. Mereka berusaha mati-matian untuk menyekolahkan anaknya itu kendati Mak Pakuak hanya seorang buruh cuci yang tidak pernah bersekolah, dan bapak Pakuak hanya tukang becak yang selalu mengantarkan para ibu untuk pergi ke Pasar Inpres di pusat kota.
***
“Mak, Pakuak nak merantau boleh tak?” ucapnya suatu hari.
“Janganlah tinggalkan Mak, Nak.... Bapak kau sudah tak ada. Dah masuk kuburlah. Mentang dah bujang kau. Perihlah hati Mak nihkautinggal seorang diri. Siape yang jaga Mak lagi?”
“Aku nak sangat jadi guru. Tengoklah bukit ni. Dah nak roboh sekolahnya. Tak ada lagi guru di sini. Dah renta semua, Mak. Siapa nakajar budak-budak di sini kalau tak lagi ada pendidik?”
“Buat apa kau ajar budak-budak tu? Emak-emak mereka suka sakiti kau waktu kau kecil dulu. Mereka suka cibir Mak. Suka kali menggunjingkan awak,”
“Mak. Tak boleh lihat masa lalu. Allah saja tak pernah tengok masa lalu hamba-Nya kalau hamba-Nya nak bertaubat,”
“Salah pulak aku sekolahkan kau tinggi-tinggi. Pintar kali kaubecakap, Nak. Kalau kaupergi, aku sakit pulak waktu tu, siape nak rawat Mak? Nanti, kau dapat kuburan merah Mak aje...” ucap Mak membelakangi Pakuak.
“Tolonglah, Mak. Tak ade lagi yang bisa diharap kalau macam ni... Aku nak berguna buat orang di sini. Nak macam pahlawan awak dulu, yang berjuang buat awak walau korbankan keluarga,”
“Tu kau nak korbankan Mak pulak? Sampai hati kau Pakuak,”
“Aduh, Mak. Pahamkanlah posisi aku. Besok subuh aku nak pergi sama kawan-kawan lain,”
“Kawan kau sajalah yang merantau. Kau tak usah. ‘Kan sudah ada mereka,”
“Bedalah, Mak. Mereka tu bukan nak jadi guru. Mereka nak cari bini tu,” goda Pakuak. Air mata emaknya pun seketika berubah tawa.
“Bisa sangatlah kau ni, Nak... Okelah. Mak izinkan. Tapi, ikhlaslah kau kalau Mak ‘pergi’ dulu sebelum kau pulang kelak,” mendengar itu, Pakuak tak tahan lagi menahan air matanya. Ia memeluk Emak, persis ketika saat-saat masih kecil dahulu. Tak berubah dikau, Nak. Masih manja je dekat Mak. Semoga kelak engkau berhasil mencapai cita-cita yang mulia tu.
Malamnya, Pakuak berpikir-pikir, tak dapat tidur hingga ia beristikharah, memohon petunjuk pada Yang Maha Pemberi petunjuk. Air matanya berlinang, membasahi sajadah tua itu.
***
Subuh melipat malam yang panjang. Lampu-lampu dimatikan, jendela dibuka. Emak Pakuak bermaksud hendak ke kamar putranya. Pikir Mak, pastilah Pakuak sudah berangkat tanpa ingin membangunkan emaknya. Namun, ketika Mak masuk ke kamar Pakuak, Pakuak tampak sedang khusuk berdoa. Mak menunggu Pakuak hingga selesai melipat sajadahnya.
“Tak jadi pergi, Nak?” tanya mak.
“Tak, Mak. Aku tak nak tinggalkan Mak. Mak dah banyak berjasa buat aku. Tak sanggup aku menahan dosa sebagai anak durhaka. Aku pikir, dapatlah aku mencari ilmu di bukit ini. Menimba ilmu dari guru-guru renta tu jua,”
“Alhamdulillah. Itu tandanya anak Mak dah besa dah.” Ucap mak senang.
Setiap hari, Pakuak mendatangi rumah-rumah guru yang dulu mengajarnya di sekolah. Entah karena takdir Allah, tepat pula ketika ia tamat dari sekolah menengah, guru-guru di sekolah yang kini hampir roboh itu pun berhenti mengajar. Kebanyakan sudah tidak sanggup mengajar karena gaji dari pemerintah tak pernah sampai penuh di tangan mereka. Guru-guru itu tak dapat berbuat apa karena saat itu tak ada pekerjaan yang bisa membantu ekonomi mereka. Namun, ketika gaji yang dikumpulkan mereka sudah cukup membeli tanah untuk berladang, mereka berhenti mengajar.
Januari 2017
Pakuak yang rajin dan cerdas itu, akhirnya mendapatkan restu dari guru-gurunya untuk mengajar. Pakuak datang ke rumah-rumah warga untuk meminta sumbangan agar dapat memperbaiki sekolah meski bukan dari pemerintah. Bukit yang terisolir itu, yang selalu saja sempong jatah anggaran dari pemerintah kini berkembang menjadi sebuah desa yang cukup makmur dengan hasil ladangnya.
Anak-anak sekolah yang dulu terputus sekolahnya, menyambung lagi meski harus mengulang dari tingkat dasar. Jadilah Pakuak mengajari bujang-bujang yang memang tak bisa tulis dan membaca. Anak-anak di bawah sepuluh tahun ia kelompokkan menjadi satu kelas. Yang di atas sepuluh tahun ia bedakan lagi kelasnya. Hari pertama menjadi seorang guru, ia memberikan pelajaran tentang kepahlawanan.
“Bujang-bujang...” ucap Pakuak setengah berteriak di dalam kelas yang dihuni empat puluhan orang itu.
“Kami ni tak nak dipanggil bujang-bujang, Pak Guru. Serasa tua. Panggil sajalah anak-anak walau banyak di antara kami yang sudah punya anak,” ucap salah satu siswa Pakuak. Yang lain jadi tertawa, sesaat kelas menjadi riuh.
“Oke. Jadi, di permulaan kelas kita ni, saya nak bertanya soalan pahlawan. Siapa itu pahlawan?” ucap Pakuak semangat hingga matanya berhenti pada seorang siswa.
“Bukan saya, Pakuak!” teriak siswa (bujang) itu.[]
2015, DP Anggi
0 komentar:
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39
Posting Komentar