Minggu, 16 Agustus 2015

Long Time No See, Puisi Saya di Indopos

Assalamualaikum sahabat
Long time no see :)


Biasanya yang sudah lama tidak mendengar kabar saya, setelah bertanya kabar, mereka juga bisa dipastikan akan bertanya, "Masih menulis?"

Sejak saya tidak sering menulis di Kompasiana.com lagi--tersebab jarang online di laptop, saya lebih sering menulis di Instagram. Saya mencoba mencari suasana baru di sana. Apalagi, saya adalah orang yang selain menulis, juga sangat senang terhadap dunia desain juga fotografi. di Instagram, saya mencoba memadukan tulisan saya, hasil jepretan dan desain gambar (photoshop).

Di Instagram, saya lebih senang berselancar sambil berdakwah, InsyaaAllah. Menurut saya, masyarakat Instagram itu unik. Masyarakat Instagram mudah memperlihatkan karakter melalui siapa yang difollownya. Akun-akun islami pun bermunculan dan peluang dakwah menjadi lebih besar. Yang lebih menarik, akun-akun islami yang followersnya ratusan ribu pun dengan senang hati akan merepost tulisan dari akun-akun yang ingin ikut berdakwah sehingga koneksi dakwah menjadi sangat luas di sana.

Kembali ke topik, "Masih Menulis?"
Ya, tentu. Meski pun terlihat tidak aktif lagi di media yang dulu melahirkan nama saya sebagai penyair (kompasiana) di artikel Kompasiana Melahirkan Penyair DP Anggi dan Satu Lagi Pensyair Berkualitas dari Kompasiana, dan juga tidak terlalu aktif di facebook (yang terlihat oleh teman-teman dan guru-guru saya yang juga kompasianer) saya tetap mengirimkan karya saya ke media cetak setelah dulu pernah terbit di Riau Pos, Indopos dan Jawa Pos.

Kabar baiknya, puisi saya kembali dimuat di Indopos. Saat itu bahkan sampai sekarang, saya tidak tahu puisi mana yang telah dimuat karena saya bahkan tahu pemuatan edisi 5 Juli 2015 ini setelah pihak Indopos menelfon saya guna meminta nomor rekening.

Alhamdulillah. Jika memang begitu, berikut puisi yang mungkin saja dimuat oleh Indopos karena puisi terakhir yang saya kirim ke Redaktur Puisi Indopos;

Puisi-Puisi DP Anggi

Di Sudut Dapur

Di sudut sebuah dapur, aku mengaduk adonan
air mata di pipi, dan luka-luka di tangan
menunggu adonan itu mengembang
membakar semua kenangan hingga matang

kusajikan di ruang makan
kuperuntukkan padamu
mungkin ini agak asin
karena dibuat bersama sumber garam di lembah mata paling dingin

kutuangkan lagi sisa air mata
untuk dahagamu ke kashkul itu
Hingga akhirnya
semua ini membuat rinduku tawar serupa abu

Pondokan Ikhlas, 08 Desember 2014


Andai Tubuh Itu

Tubuh yang tergeletak itu
Menjamah sardi sejak matahari tenggelam hingga subuh
Melaur, mendekap tubuh yang pejal oleh sepinya malam
Entah telah berapa pasang mata berlalu-lalang, lalu memaki dalam diam

Pada subuh dengan embun yang turun malu-malu
Tetes halus itu direguk mulut-mulut yang menunggu
Entah sedang mereguk, atau bisa saja berwudu
Yang itu, ya! Oleh semut yang berbaris-baris itu

Ah, andai tubuh itu terbangun tanpa menunggu semburat cahaya menusuk mata
Dan andai tubuh itu memantul padanya ketaatan para semut merah
Ia takkan lelap hingga mendengar suara bising kendaraan penguasa
Ah, pengusaha—sama saja

Pondokan Ikhlas, Panam 14 Januari 2013

Abjad

Aku hampir tak mampu
membaca lisan yang
kauhurufkan
A a B b C c....
C i n t a...
A a B b C c....
Capai mengejanya
hingga Z z Z z...
aku tertidur

Panam, 29-30 Mei 2014

Kadang
Kadang-kadang
Di jalan yang lebih mirip lautan ‘tika hujan
Di jalan-jalan sakti panam
Semut-semut sudah terbenam

Bahkan, lebih dari sekadar kadang-kadang
Ada laki-perempuan
Memunguti nasib hari ini
Agar menemui takdirnya esok hari

Kampus Panam, 27 Mei 2014


Dokumen Lama

Ini adalah dokumen lama
Saya tidak akan membakarnya
Karena di dalamnya ada cerita saat Anda mengenal saya lalu mencintai saya
Kendati kini, cinta Anda entah ke mana

Ini adalah dokumen lama
Saya tidak akan membuangnya
Karena melaluinya saya mampu menemukan ingatan
Yang tak tersimpan sepenuhnya di memori yang karatan

Ini adalah dokumen lama
Saya tidak akan menjualnya
Karena kehadirannya menghadirkan pula cinta di dada saya
Yang pernah menyala dan meredup karena basah oleh air mata

Ini adalah dokumen lama
Saya tidak akan merawatnya
Karena kekusamannya mengingatkan saya
Bahwa Anda mengenal saya susah payah dalam tiada

Ini adalah dokumen lama
Lama-lama akan saya tinggalkan saja di atas sebuah meja
Meja yang dulu pernah menjadi favorit kita
Dan menjadi tempat di mana saya menumpahkan airmata sejak tahu Anda telah tiada

Pondokan Ikhlas, Panam 24 September 2014

Hamba

Mengapa engkau terlihat begitu luka
Padahal engkau masih berjalan dengan sepasang mata
Mengapa engkau memeras air mata
Apakah karena engkau hanyalah seorang hamba?

Pada suatu waktu
Seorang hamba tengah berpacu
Dengan kehilangan yang memuncak di dadanya yang paling kiri
Dan dengan bekas-bekas lukanya yang sembuh sendiri

Aku melihatnya bersujud di antara hujan
Dikerumuni orang-orang yang saat itu berhenti di tepi jalan
“Tuhanku... Jika luka yang tak tampak ini adalah rindu
Aku ingin lebih besar rinduku pada-Mu...”

Orang-orang mulai gelisah
Mereka berbisik setengah lupa—
“Apa ia sudah gila?
Berbicara pada udara?”

Pondokan Ikhlas, Panam 28 September 2014

Perpisahan

Dengan wajah yang muram
Kusampaikan hasrat yang tak lagi jenjam
; Engkau bahagia karena akan pergi
Sementara aku melepasmu dengan elegi

Mengapa engkau menahanku
Hanya untuk dapat melihat punggungmu yang kian jauh
Mengapa engkau membiarkanku
Untuk melihatmu mengemas barang tetapi meninggalkan rindu

Apakah karena
Engkau adalah
Kenang
Yang tak terulang?

Mengapa tetap memaksaku tertawa
Padahal ingin sekali kuseka airmata
Mengapa begitu perih terasa
Padahal tak tampak sayat-sayat luka?

Pondokan Ikhlas, Panam 30 September 2014

Biodata singkat:

DP Anggi, lahir di Bangkinang, Riau. Buku Puisi tunggalnya; Raudah-Raudah Sajadah (2013). Karya lainnya termaktub di antologi Puisi bersama: Untuk Para Sahabatku (2012), Para Perindu: Cahaya Ilahi (2013), Ayat-Ayat Selat Sakat; Antologi Puisi Riau Pos (2013), Bersepeda ke Bulan; Antologi  HariPuisi Indopos 2013 (2014). Puisi-puisinya pernah dimuat di Riau Pos, Indopos dan Jawa Pos.



Oh ya, baru-baru ini saya belajar vector. Meski tidak terlalu bagus dan cara saya membuatnya berbeda dari yang lain, saya puas dengan hasilnya. Mungkin ini sangat jauh dari yang namanya vector. Entah apa namanya.


       

 Terimakasih ^^



0 komentar:

:10 :11 :12 :13 :14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39

Posting Komentar