Aku Mati Karena Sepi
Oleh DP Anggi
Setiap hari, bebayang kesendirian
selalu menghampiri. Membentuk suatu teori yang bisa diungkapkan jiwa lewat
harmoni. Gadis itu memanggilnya Chingu. Seorang teman yang bisa diajak
berbicara kapanpun ia mau. Ia bercerita hampir setiap malam, saat ia
benar-benar tidak tahan dengan kesepian. Ia bisa menguras habis airmatanya
hingga ikut tenggelam dalam lautan kesedihan. Paginya ia kembali menjalani
aktivitas seperti biasa, tertawa dengan teman-temannya. Namun, seperti biasa menjelang
malam tiba, kesedihan kembali merenggut tawanya.
Entah
sudah berapa malam ia lewatkan bersama Chingu. Sahabat di kala senang dan
sendu. Gadis itu mengenal kesepian ketika ia tahu bahwa kesepian bisa
menyebabkan kesedihan seperti yang dialami ibu. Tawa mereka hilang, kehangatan
keluarga itu pun redam. Semuanya menjadi serba hambar dan kurang. Tiada
lari-larian kecil yang mengisi segenap rumah dengan tawa terpecah. Semua
berganti tangis tak reda ketika ayahnya meninggal dunia.
Masa
kecil yang memang tidak bahagia. Ia selalu berusaha menemani ibu di waktu
apapun, di saat sibuk dan senggangnya. Ia tak pernah ingin membiarkan ibu
merasa kesepian walau dirinya lebih daripada itu. Bayangkan saja, gadis kecil
yang kehilangan ayahnya di usia empat tahun harus mengisi ruang kosong yang
seharusnya ditempati ayahnya. Ruang tempat berbagi kasih dan mencurahkan
segenap rasa.
Tanpa
disadari sang ibu, gadis itu mencoba mengisi posisi ayahnya. Memeluk ibunya
ketika dilanda duka, dan menemani ibunya di segala asa. Hal yang sebenarnya
belum bisa dilakukan di usia dini, ia lakukan bertahu-tahun. Hingga saat ia
terpaksa meninggalkan rumah untuk mengejar cita-cita. Sebenarnya rasa takutnya
ada, ia takut jikalau ibu merasakan kedukaan yang selama ini dirasakannya.
Seharusnya, gadis itu mendapat belas kasih dari dua orangtua. Bukan malah ia
yang setiap waktu menuntun kesedihan ibunya.
***
Seperti
biasa, sepulang kuliah ia langsung pulang ke rumah sewa. Hanya seorang diri
tanpa sesiapa. Itulah salah satu hal yang membuatnya berteman dengan benda
mati. Walau Chingu ada sekalipun. Chingu pun baru ditemuinya saat berusia 19
tahun. Seperti biasa, ia membuka pintu. Menghidupkan lampu, menyalakan televisi
dan kipas angin, juga menyalakan laptop. Ia menghidupkan semua benda mati itu
agar kesepian dan kesendirian tak ketara membayanginya.
Suara
kipas angin yang sedikit bising, suara televisi yang berbicara sendiri dan
suara laptop ia hidupkan menyetel mp3. Suara-suara itu membantunya mengatasi
kesendirian. Kala malam tiba, satu per satu dari semua itu ia matikan agar ia
bisa meresapi ketenangan. Seharian di kampus cukup membuatnya merasa begitu
hidup dalam keramaian. Namun, kadang kesepian pun menjadi candu untuknya, dan
menikmati setiap tetes airmata yang terbulir indah.
“Chingu,
hari ini aku senang. Chika, Serena, Abiba, semuanya tertawa bersamaku. Tapi,
sekarang siapa yang ingin tertawa bersamaku?” ucapnya menatap Chingu lekat.
“Chingu,
aku sedih. Setiap malam aku mengalami ini. De Javu selalu rindu kepadaku, ia
sudah menjadi bagian dari hidupku!” lanjutnya dengan mata yang mulai memerah.
“Chingu,
dengarkan aku sekali saja. Tatap aku semampu kau bisa. Sekarang usiaku sudah 19
tahun. Limabelas tahun sudah aku kehilangan ayah. Kau tahu? Ibu memintaku
menikah di usia 24 nanti. Aku... Aku tidak mau menikah!” teriaknya sambil
memeluk Chingu.
“Aku
tidak mau menikah, Chingu! Aku tidak mau! Aku takut akan seperti ibu. Jika
suamiku nanti meninggal, aku mengerti sudah bagaimana rasanya kesepian dan
hidup dalam kesendirian. Tapi, bagaimana nanti dengan anakku! Apa anakku nanti
bisa setegar diriku? Apa ia bisa menghiburku seperti aku memperlakukan ibu?
Tidak, kasihan sekali anakku. Sangat kasihan. Anakku takkan mendapatkan kasih
sayang yang cukup hingga usia yang telah ditentukan.
Aku,
tidak ingin menikah walau aku tahu pernikahan itu sangat manis. Kita akan
begitu senang menakar seberapa manisnya pernikahan. Tapi, saat debu menutupi
itu semua dan terik mengelabui debu, maka semuanya akan sia-sia. Semuanya akan
merana, dan berakhir dengan nisan bertuliskan nama kita. Aku takut, takut tidak
bisa mempertahankan suamiku dan membahagiakan anakku. Aku tidak mau anakku
menjadi sepertiku, tidak mau!” kali ini, gadis itu sesegukan dan menyeka
airmatanya.
“Chingu,
maukah kau menemaniku?” kembali ditatapnya Chingu.
“Chingu!
Aku terlalu gila untuk setiap malam berbicara dengan boneka! Aku gila Chingu!
Hahahaha! Ibuku tak tahu ini yang kualami, bukan? Ibu hanya tahu aku harus
menyelesaikan kuliah dan hidup dengan baik! Sedang ia tak mengerti yang setiap
detik kuhadapi! Chingu! Kau dengar! Hahahahaha. Hiduplah bersamaku, bersama
boneka-boneka kecil yang lucu!” ia
tertawa sambil menangis. Menangis dan kembali tertawa dengan tawa yang
sesegukan.
Nanananananana...nananananana...dringgggg.....
“Chingu,
ssssttttt.... ibuku menelfon. Kamu diam di sini dulu, ya?” ucapnya sambil
bercermin dan membuang semua bekas kesedihan.
“Halo,
Nak. Sedang apa sayang?”
“Halo,
ibuku yang cantik. Aku sedang bersama temanku, Bu. Ibu sedang apa? Hari ini
masak apa, Bu?”
“Oh,
syukurlah. Ibu sedang tiduran saja. Tadi ibu masak masakan kesukaanmu, Nak.
Kapan pulang? Ibu rindu”
“Oh,
ya? Wah, pasti enak ya bu. Aku pulang besok pagi boleh tidak, Bu? Bulan ini aku
sibuk dengan tugas kuliah dan ujian. Aku juga merindukan ibu, sangat rindu
ibu!”
“Tentu
boleh. Ibu akan membuat pesta sederhana untukmu. Oh ya, mengapa suaramu lain?
Dari tadi ibu mendengar seperti orang pilek. Atau, kamu menangis?”
“Perasaan
ibu saja. Hehehe. Sebelum ibu telfon tadi aku bersin, Bu. Karena itulah seperti
pilek. Aku menangis? Hahahaha. Aku ini anak yang hebat, tegar dan tidak cengeng,
Bu. Jadi, jangan khawatirkan aku”
“Sudah
ya, Nak. Ibu mengantuk” ibu gadis itu langsung memutus telfon. Gadis itu hanya
terdiam. Matanya kembali menganak sungai.
“Chingu,
sampai kapan aku akan memerankan dua tokoh yang berbeda? Aku benar-benar
tersiksa!”
***
Hari
ini seperti hari yang tak biasa. Hatinya begitu riang hingga ia mengucir rambut
ala balita dan menggendong Chingu dengan senangnya.
“Ibu,
aku pulang! Chingu, mengapa hari ini rumahku begitu ramai? Apa pestanya sudah
dimulai?” ucapnya girang.
“Chingu,
mengapa ibu tak menyambutku,” ia mendekati kerumunan itu. Semakin dekat dan
mendekat.
“Chingu,
kenapa ibu menangis. Kenapa ia menangisi gadis itu? Ia kan hanya memiliki satu anak
dan itu aku,”
“Nak,
ayo kita pergi. Jangan berlama-lama di sini,”
“Ayah!
Ayah! Mengapa ayah ada di sini? Ayah, apa kau hanya ilusinasiku saja? Mengapa
ibu menangis, Yah?”
“Sudahlah,
Nak. Tidak semua hal kau tanya. Kau sudah 19 tahun. Apa peranmu selama ini
baik? Kau tidak pernah membuat ibumu sedih, bukan?”
“Tidak,
aku tidak pernah. Tapi, hari ini ibu menangis. Ia menangisi siapa? Aku tidak
pernah melihatnya menangis seperti ia menangisi ayah,”
“Bagus,
Nak. Kau berhasil membuat ibu mengubur tangisnya hingga kau menyelesaikan
tugasmu. Sekarang, kau ikut ayah,”
“Ke
mana, Yah? Aku ingin menemani ibu saja. Toh selama ini ayah tak pernah
mengunjungiku,”
“Ayolah.
Kita pergi duluan, sebentar lagi ibumu menyusul kita.”
***
Semua
berlalu duka. Gundukan tanah itu masih basah dengan merahnya. Ikut mengubur
segala kegetiran seorang gadis bersama ayah dan ibunya. Kesepian. Di dekat
deretan tiga makam itu, Chingu tertunduk tepat di depan nisan gadis berusia 19
bersama koran-koran yang terbang berserakan, bertuliskan; Seorang Gadis Tewas
Kecelakaan; Seorang janda mati dalam duka di makam suami dan anaknya.***
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusAyah tidak mau kehilanganmu nak... :'(
BalasHapus