Senin, 16 Juli 2012

Aku dan Air Mata Bapak

Cerpen Oleh : DP Anggi | FAM790M Pekanbaru | 16 Juli 2012

Aku dan Air Mata Bapak

“Pak, minta duit, duit bulanan Jack sudah habis pak”, kataku.

“Mengapa uang kamu cepat habis, bukannya ini masih 2 minggu ya, seharusnya kan itu untuk satu bulan?”, kata bapak dengan sedikit tegas.

“Pak, aku ini mahasiswa yang banyak sekali kebutuhannya!”, kataku dengan nada sedikit meninggi dan berlalu pergi meninggalkan bapak. Aku kesal sekali siang itu, aku putuskan untuk ke Rumah Tio.

“Jaka? Tumben main kesini”, kata Tio sambil mempersilahkan ku masuk. Namun aku diam saja dan bertambah kesal mendengar panggilannya itu. Aku dan Tio kenal ketika sama-sama mengantri daftar ulang setelah dinyatakan lulus masuk ke Perguruan Tinggi Negeri di Surabaya. Tio adalah anak orang kaya. Tiap hari dia menggunakan mobil ke kampus sedangkan aku hanya berjalan kaki.

“Bisa ngga sih jangan panggil aku Jaka, panggil aku Jack! Aku ngga suka nama kampungan itu!”, “Jaka. Tidak ada nama yang lebih keren ya? Zaman gini nama Jaka, aduh... jadi nya kan orang-orang memanggil namaku akan sambil tersenyum, pasti teringat film laga yang ada buaya-buayanya, ya ‘Jaka Tingkir dan 7 Bidadari’. Arrgghhttt...!”, sambungku dalam hati. Aku berniat menghilangkan kesal dan suntukku di Rumah Tio. Setelah Sore menjelang aku pun pulang.


Akhirnya setelah berjalan kaki 3 Km aku sampai di rumah, ku buka pintu dan langsung masuk begitu saja. Tentu saja bapak langsung menegurku agar mengucapkan salam jika hendak masuk ke rumah. Aku hanya diam saja dan mendongkol dalam hati. Heran. Mengapa hari ini bapak cepat sekali pulangnya? Biasanya mau maghrib baru pulang. Ah, aku tidak perduli. Aku terlalu penat berjalan kaki sejauh. Aku langsung saja tertidur pulas.

Aku terbangun karena perut terasa lapar. Ku lirik jam ternyata sudah pukul 19.00. Pantas saja perutku sudah dangdutan, eh keroncongan. Aku keluar kamar dan langsung menuju dapur. Ku singkap tudung dan melihat dengan heran lauk-pauk yang ada. Aku bertanya-tanya di dalam hati, tidak biasanya bapak seperti ini. Namun aku urungkan niatku. Aku dan bapak memang jarang sekali berkomunikasi sejak Ibu pergi meninggalkan kami berdua. Sejak itu selain mencari nafkah, bapak juga memasak dan rangkap 2 jabatan, sebagai bapak sekaligus ibu untukku. Namun aku tidak perduli, tetap saja bapak yang salah menurutku karena telah membuat ibu meninggalkan kami.

Aku ingat sekali saat itu. 3 tahun yang lalu aku masih kelas 3 SMP, ketika itu kami hidup sederhana dan bahagia. Ibu sangat menyayangiku dan selalu memenuhi apa saja yang aku minta. Pagi itu hari minggu, ibu ingin membeli keperluan sehari-hari dan meminta bapak untuk mengantarkannya. Aku juga ikut. Namun ketika hampir sampai ke pasar bapak hilang kendali karena rem motor bapak tahu-tahu blong. Bapak menabrak sebuah sepeda motor yang juga melaju kencang dari arah berlawanan, aku tidak tahu apa lagi yang terjadi setelah itu.

Jika mengingat kejadian itu, aku marah sekali kepada bapak. Ah, sudahlah. Aku tidak akan mengingat kejadian itu, hanya membuat selera makan ku hilang. Yang jelas, sejak saat itu aku menjadi seperti ini. Begitu tertutup. Tidak ada satu orang pun termasuk Tio yang mengetahui latar belakangku. Namun sebenarnya di relung hatiku yang terdalam aku sangat menyayangi bapak dan bangga terhadapnya. Sekali lagi, kejadian itu mengalahkan rasa sayangku kepada bapak.

Keesokan paginya, aku ke kampus dan seperti biasa pergi dengan berjalan kaki. Aku tahu hari ini pembayaran Uang SPP sudah dimulai. Namun aku belum memintanya ke bapak. Saat itu Tio datang dan mengajakku makan di kantin dekat kampus. Banyak bercerita di kantin dan rencananya ingin main futsal melepas suntuk akan tugas-tugas yang diberikan dosen.

Sampai di halaman parkir lapangan futsal aku melihat ke seberang jalan, terlihat seorang bapak tua yang lusuh menunggu orang menaiki becaknya. Kasian sekali aku lihat orang itu. Hanya berbaju kaos oblong, celana kumal, topi jerami, sapu tangan yang diletakkan di leher dan sendal jepit yang berdebu. Aku perhatikan terus orang itu, ketika sedang memperhatikan, Tio menarik baju ku dan bermaksud untuk segera bermain futsal. Rasanya lelah sekali bermain futsal, masih jam 3, belum sore, kami pun kembali lagi ke halaman parkiran. Mata Tio tertuju kepada orang yang dari tadi ku perhatikan.

“oh ya Jack, aku pengen sekali-kali naik becak, seumur-umur aku ngga pernah naik becak”, kata Tio sambil menarikku ke arah becak yang mangkal di seberang jalan. Aku hanya diam saja. Dan berbisik kepada Tio.

“iya aku ngerti tapi jangan becak yang ini”, kataku sedikit menariknya. Tapi dia tidak hirau dan malah langsung duduk di atas becak itu dan mengatakan, “pak, kita putar-putar saja ya”. Tapi aku heran, orang itu tidak mengatakan apa-apa. Di sepanjang jalan aku hanya diam. Aku melihat Tio yang begitu girang menaiki becak ini. Ketika sudah puas berputar-putar Tio menyerahkan Uang 100 ribu kepadaku untuk membayar becak ini. Aku tetap diam dan mengulurkan uang itu.

“wah, uangnya ngga ada yag kecil nak?”, kata orang yang sudah mandi keringat itu. Siang kali ini matahari terik sekali. Orang itu mengelap keringatnya dengan sapu tangan yang tergantung di lehernya.

“ambil saja uangnya pak, terimakasih pak”, kata Tio. Aku tetap saja tidak berkomentar.

“Terimakasih ya nak, Alhamdulillah”, kata orang itu dengan senangnya. Tio dan aku meninggalkan orang itu dan bergegas pulang.

Malam harinya aku baru pulang karena tadi sempat ke rumah Tio terlebih dahulu. Beberapa kali ke rumah Tio yang berbeda sekali dengan Rumahku membuat Aku sempat menghayal jika memiliki Rumah sebagus itu. Rumahnya besar dan halamannya luas, di pekarangan belakang ada kolam renang juga. Aku melihat bapak tersandar di dinding ruang tengah. Dulu di sana lah aku, ibu dan bapak berbagi cerita, tapi sudah tidak lagi semenjak Ibu tiada. Aku menghampiri bapak yang sedang tersandar sambil menonton TV hitam putih yang belum mampu ia ganti dengan TV yang lebih bagus.

“Pak, Saya minta Uang untuk bayar SPP”, bapak hanya memandangku dan bergegas berdiri lalu masuk ke kamarnya. Setelah itu bapak menyodorkan uang yang memang bapak sudah tahu berapa jumlah uang yang ku butuhkan. Ternyata Bapak ingat bahwa hari itu pembayaran SPP, karena itu kemarin aku minta uang tidak diberinya. Bapak tidak berkomentar sedikitpun dan tidak pula menyinggung kejadian siang tadi. Aku mengambil uang itu tanpa berkomentar dan masuk ke kamarku.

Mataku berkaca-kaca. Aku yang malu mengakui bapak adalah bapakku. Aku yang selama ini selalu menyalahkan bapak atas kepergian ibu. Ternyata benar, kadang orang tua memang tidak memiliki pengetahuan lebih, tapi mereka memikirkan bagaimana anaknya bisa lebih baik dari mereka. Air mata ku pun berlinang ketika mengingat Uang yang berada di tangan ku sekarang berasal dari tangan yang sama. 
The End

0 komentar:

:10 :11 :12 :13 :14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39

Posting Komentar