Dalam derasnya hujan ibu mendekapmu.
Menenangkanmu saat kilat menyambar dan petir menggelegar. Ibu biarkan engkau
terlelap dalam dekap. Lalu ibu pindahkan engkau perlahan ke tempat tidur,
memastikan selimutmu nyaman dan tidak akan membiarkanmu bermimpi buruk.
Ibu perhatikan engkau, Nak. Ibu lihat
kakimu yang biasa tertatih telah memanjang. Tanganmu yang biasanya hanya bisa
memukul-mukulkan sendok plastik ketika makan sudah kuat menggenggam. Engkau
sudah bisa melompat walau sesekali. Engkau sudah bisa melempar bola walau belum
jauh sekali.
Setelah pagi menjelang, ibu
membawamu ke halaman.
Membiarkanmu berdiri dan mengamati dari kejauhan. Nak,
pijaklah dengan benar. Ini tanah yang berwarna hitam. Jika kering, tanah ini
akan berbutir-butir seperti pasir. Bergeserlah sedikit, Nak. Ini adalah rumput
yang semalam diguyur hujan. Genggamlah, apakah terasa basah?
Mendongaklah ke atas, Nak. Itu
adalah pohon Mangga. Pohon itu tumbuh dari bibitnya. Ia disirami hujan dan
dihangatkan matahari. Akarnya mencari nutrisi. Sekarang pohon itu tumbuh besar.
Lihatlah bunga-bunga putiknya yang esok akan segera menjadi buah Mangga yang
kian hari akan semakin ranum. Ayah akan membantu kita untuk memetiknya, dan ibu
akan mengupasnya untuk kita makan bersama.
Lalu, ibu lihat senyummu. Ibu layangkan
lagi pandangan ibu padamu hingga utuh. Ah, maafkan ibu, Nak. Padahal, awalnya
ibu yang selalu mengharapkanmu lekas tumbuh besar. Ibu yang mengharapkanmu bisa lancar
berjalan dan berlari. Ibu yang mengharapkan genggamanmu menjadi kuat. Ibu yang
mengharapkanmu segera bisa berbicara, yang awalnya hanya gumaman, lalu “ibu…”,
“ayah”, kini semuanya.
Namun, mengapa ibu pula yang
membentakmu? Mengapa ibu pula yang memarahimu? Mengapa tangan ibu terkadang
memukulmu? Megapa ibu mudah sekali menggerutu?
Sesekali, ibu akan membiarkanmu
berlari-lari. Tak membentakmu dan tak memarahimu karena takut engkau terjatuh.
Jika engkau terjatuh, ibu akan mengobati lukamu, mengusap pelan kepalamu, dan
mengatakan agar engkau lebih hati-hati lagi saat berlari.
Ibu juga akan membiarkanmu
bermain hujan sesekali. Tak memarahimu karena takut engkau sakit, dan tak
memukulmu ketika engkau tak mau dengar ucapan ibu. Ibu hanya kurang pandai
mengekspresikan ketakutan dan kekhawatiran ibu. Ibu sungguh menyayangimu.
Doa ibu; kaki yang sudah kencang
berlari itu, berlarilah kepada jalan-Nya dan jangan berlari lagi ke belakang.
Tangan yang sudah kuat menggenggam itu, genggamlah tali kebaikan dan banyaklah
memberi tanpa pernah mengingat kebaikan sendiri. Lidah yang kerap berucap itu,
ucapkanlah yang baik-baik saja, ajaklah orang-orang pada kebenaran, jujurlah
dalam setiap perkataan, bijaklah dalam mencari penyelesaian.***
Pondokan Ikhlas, 20 Oktober 2013
Salam hangat dan
semangat dari DP Anggi
visit&follow my blog too yaa nji... ^^
BalasHapusmardikusumah.blogspot.com #numpang promosi. :D
kunbal ya bang
BalasHapus