Mereka bisa hidup,
tumbuh menjadi orang besar karena sebuah nama. Sebuah nama yang begitu
pantas untuk diketahui, dicari tahu dan didengar oleh semua orang.
Nama-nama mereka, selalu cocok dan sesuai dengan jabatan dan profesi
mereka. Namun, kadang mereka terlalu angkuh. Memandang ke bawah pun
tidak mau. Lebih sering mereka membuang muka, pura-pura tidak melihat,
pun mendengar kepada manusia-manusia kelas bawah. Semoga, suatu saat
nanti Tuhan mengabulkan itu, dan mereka benar-benar takkan bisa melihat
dan mendengar lagi.
Aku,
hanya seorang lelaki yang terlewat dari keberuntungan. Yang lebih
senang dipanggil sebagai lelaki tanpa nama.
Aku lebih tidak ingin
mendengar namaku sendiri. Kecuali di depan ibu. Ibu bilang, ayah yang
memberikan nama itu. Nonem. Ya, entahlah. Memakai nama atau tidak,
rasanya sama saja. Nonem? Ah, apa ayah tidak punya nama lain selain nama
itu? Itu benar-benar berarti ‘tanpa nama’!
Awalnya, aku senang dipanggil Nonem. Namun, semua berubah saat pertama kali ibu menyekolahkanku.
“Baik. Siapa namamu?” Bu Guru bertanya kepadaku.
“Nonem, Bu,”
“Kau pasti punya nama,”
“Nonem, Bu,”
“Apa kau mempermainkanku? Ayah ibumu pasti memberimu sebuah nama!”
“Namaku… Nonem, Bu,” aku tertunduk. Apa yang salah dengan namaku? Sedari tadi aku sudah menyebutkan namaku dengan jelas.
“Kalau
kau malu menyebutkannya, tulis saja,” ucapnya sambil memberikan secarik
kertas. Aku menulisnya. Beruntung ibuku selalu mengajariku di rumah,
terutama untuk menulis. Lalu aku menyerahkan kembali kertas itu. Tapi,
ia tertawa saat membacanya.
“Jadi,
namamu memang Nonem? Ha-ha-ha” seisi kelas turut tertawa. Mereka semua
seperti setan-setan merah yang bertanduk. Dengan gigi besar-besar, dan
tawa yang terpingkal.
“Apa yang salah, Bu Guru?”
“Tahukah, kau? Nonem itu, dalam bahasa inggris ditulis -no name- artinya –tanpa nama-,”
“Maksudnya bagaimana? Aku tidak mengerti,” aku mulai menangis.
“Percuma
kau diberi nama, karena arti dari namamu adalah ‘tanpa nama’.”
Mendengar itu, aku segera tahu mengapa dari tadi Bu Guru meminta
berkali-kali menyebutkan namaku. Aku, tanpa nama! Aku, tanpa nama! Suara-suara itu kian menggema. Mengusikku, hingga aku berlari pulang tanpa menunggu.
Sejak
itu, aku tak ingin lagi bersekolah. Apalagi memikirkan bangku kuliah.
Semisal saja, aku sudah memiliki gelar sarjana. Anggap saja, sarjana
ilmu politik. Nonem, S.Ip., kah? Ah, betapa malunya aku! Siapa pun takkan menerimaku bekerja, kecuali untuk sekadar cleaning service yang namanya tidak diperhitungkan. Sekadar memanggil Mas, Bung, Bang, atau apalah, pasti sudah selesai urusannya.
Aku, juga tidak berselera menikah. Kasihan pengantinku kelak. Menikah dengan Nonem? Lalu, nama anakku siapa? Anonimkah? Ah, sama saja! Lalu,
nanti anak-anakku pasti ditertawakan teman-temannya. Seperti aku,
ketika kecil dulu. Bahkan, guru pun tak mau kalah dengan tawanya. Oh,
ini dunia apa? Mengapa sebuah nama terlalu diperhitungkan kelayakannya?
Duhai,
Ayah! Mengapa dulu tak kau uji layak namaku ini? Pakai beberapa minggu
saja sebelum menetapkannya dalam akte lahirku. Sayangnya, kau telah
tiada. Dan, aku tak punya hak untuk mengubah nama ini.
Bukankah, mengenal nama pun adalah pemberian dari Allah SWT.. melalui perantara orangtua? Angin
berbisik lembut padaku. Apa itu malaikat? Atau, hanya setitik cahaya
yang masih tersimpan di hatiku? Tidak mungkin aku berbisik sendiri pada
hatiku. Atau, Allah menegurku?
Maafkan
aku, Ya Allah. Aku ini memang kurang bersyukur! Padahal, banyak nikmat
lain yang lebih membahagiakan. Tak sebatas mempersoalkan sebuah nama.
Dengan, atau tanpa sebuah nama, bergelar atau tidak. Aku, akan tetap
menjalani hari-hari yang telah Engkau beri dengan sebaik-baiknya. Nama
hanyalah panggilan sementara. Hanya untuk memudahkan manusia mengingat
saudara-saudaranya. Aku rasa hanya itu. Bukankah?***
Salam hangat dan semangat dari DP Anggi
FAM790M Pekanbaru
0 komentar:
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39
Posting Komentar